Merayakan Kehilangan Atas Tanah

Oleh: Abdul Kodir

Merayakan Kehilangan Atas Tanah
Staf Pengajar Jurusan Sosiologi dan Tim Peneliti di Pusat Studi Bencana, Mitigasi, dan Lingkungan – Universitas Negeri Malang, Abdul Kodir. Foto: Dokpri

Sebuah Anomali

Tidak mudah bagi kita menjawab fenomena ini, sebelum benar-benar kita melihat lebih dekat. Bagaimana pun fenomena ini menjadi anomali setidaknya di Indonesia. Mengapa demikian? Karena pada saat yang sama di wilayah yang berbeda, hilangnya tanah masyarakat untuk proyek pembangunan memicu konflik agraria di Indonesia.

Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat selama tahun 2020 terdapat 241 kasus konflik agraria.

Menariknya, salah satu sektor yang berkontribusi cukup besar dalam konflik tersebut ialah pembangunan infrastruktur seperti Proyek Strategis Nasional (PSN). Namun yang terjadi di wilayah Tuban dan Kuningan menunjukan sebaliknya.

Di wilayah konflik konflik agraria, sebagian besar mereka berjuang menyelamatkan tanah mereka dengan cara apapun. Tidak sedikit dari mereka yang berhadapan dengan hukum yang berujung kriminalisasi.

Tidak sedikit pula dari mereka yang ‘mati syahid’ untuk memperjuangkan tanah mereka. Tentu saja musuh mereka bukanlah lawan yang imbang.

Mereka harus berhadapan dengan korporasi perkebunan, kehutanan, dan pertambangan yang dalam banyak kasus mereka dilindungi oleh aparatur penegak hukum.

Namun kondisi tersebut jauh berbanding terbalik dengan fenomena yang ramai dibicarakan oleh publik.

Tanah adalah properti materiel yang dapat dijadikan komoditas karena nilai investasi yang dimiliki. Namun, tanah juga memiliki nilai sosial dan budaya yang tidak bisa dilepaskan dari kehidupan masyarakat.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News