Moratorium Pengiriman PMI Oleh Pemda: Antara Pembangkangan dan Jalan Perubahan

Moratorium Pengiriman PMI Oleh Pemda: Antara Pembangkangan dan Jalan Perubahan
Pemerhati Ketenagakerjaan Antonius Doni Dihen. Foto: Ist.

Bagaimana kita melihat angka ini? Bagi saya, ini adalah salah satu sumber masalah yang sangat signifikan.

Pertama, biaya ini memberikan beban terlalu besar bagi majikan. Konsekuensi lebih lanjutnya, menciptakan peluang hubungan yang eksploitatif dan tidak manusiawi antara majikan dan pekerja migran kita.

Dengan biaya besar seperti itu, majikan mempunyai ekspektasi yang tinggi terhadap kompetensi pekerja migran kita dan merasa pantas memperlakukan PMI sebagai “Budak”. Jam kerja tidak lagi diperhatikan, batasan anggota keluarga yang boleh dilayani tidak diperhatikan lagi, berapa mobil yang harus dicuci juga tidak menghitung lagi tenaga PMI. Begitu kompetensi PMI tidak sesuai harapan dan berbagai beban pekerjaan tidak tertangani dengan baik, perlakuan buruk majikan menjadi kemungkinan yang dapat terjadi.

Kedua, dengan modal yang besar, “kemampuan” berperilaku kotor dari siapapun juga pelaku penempatan, entah perusahaan penempatan resmi atau pemain gelap, juga makin besar.
Dari 12.000 hingga 18.000 RM, yang dibagi ke agen ketenagakerjaan Malaysia sejumlah sekitar 3.800 RM, dan sisanya untuk biaya perekrutan oleh perusahaan penempatan di Indonesia.
Anda bisa membayangkan, ada uang sekitar Rp. 34 juta untuk perekrutan satu calon TKI, dan setelah itu masih ada pemotongan gaji TKI antara 3 sampai 6 bulan untuk menutupi cost structure.

Insentif keuangan ini membuat Perusahaan Penempatan dan pemain penempatan gelap menjadi semangat dan agresif dalam mencari tenaga kerja Indonesia. Dengan berbagai cara yang dapat dilakukan, berbagai rayuan dapat ditopang dengan uang, dan berbagai rintangan regulasi di lapangan dapat segera “ditutup” dengan uang. Sebagaimana yang kita ketahui, keluarga yang ditinggal dapat dikasih Rp. 2 juta, PL dapat dikasih satu juta, dan oknum-oknum yang “memergok” dapat dikasih juga. Jumlah itu tentu masih kecil dibandingkan dengan jatah bersih 34 juta tersebut karena urusan administrasi dan tiket juga tidak terlampau besar.

Modal seperti itu masih cukup untuk “mengamankan” berbagai jalur formal dan informal apalagi jika “musim” pengawasan tidak sedang on karena teriakan LSM tidak sedang nyaring.

Ketiga, “harga pasar” tinggi yang terpatok oleh Perusahaan Penempatan dalam kerja sama dengan Agensi Negara Penempatan, memberikan ruang kreasi bagi para pemain kotor. Dengan kebijakan direct hiring, misalnya yang berlaku di Malaysia, para pemain kotor dapat menawarkan jalur lain kepada majikan atau agensi dengan harga yang lebih murah tapi masih sangat menguntungkan.

Penawaran jalur lain yang dimungkinkan oleh kebijakan direct hiring juga sekaligus membuka kemungkinan untuk praktek-praktek non prosedural yang lebih berbahaya, yakni human trafficking. Posisi gelap status pemain kotor dan gelapnya posisi calon PMI dalam jalur penempatan gelap dapat sekaligus dimanfaatkan untuk bisnis HT atau bahkan bisnis perdagangan organ tubuh.

Keputusan moratorium pengiriman PMI yang dilakukan oleh Pemda yang terjadi di beberapa tempat di Indonesia dalam suatu perspektif yang tepat, walau mungkin pengambil kebijakan di Daerah melakukannya tanpa perspektif tertentu, hanya karena galau menghadapi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News