Moratorium Pengiriman PMI Oleh Pemda: Antara Pembangkangan dan Jalan Perubahan

Moratorium Pengiriman PMI Oleh Pemda: Antara Pembangkangan dan Jalan Perubahan
Pemerhati Ketenagakerjaan Antonius Doni Dihen. Foto: Ist.

Dengan demikian dapat kita katakan (atau setidaknya yang dapat saya lihat dari fenomena ini) bahwa urusan penempatan PMI adalah urusan yang terlanjur terjebak menjadi urusan bisnis besar, sekaligus berbahaya, yang diperebutkan oleh banyak orang, dengan korban pada PMI dan calon PMI. Dan perusahaan penempatan menempati posisi sentral dalam proses pembentukan harga yang mempunyai konsekuensi besar ini, dan perkembangan bisnis perdagangan manusia. Karena dia yang membentuk harga (yang ketinggian) tersebut dan memberikan ruang hidup bagi praktek bisnis kotor. Entah disadari atau tidak; entah disengaja atau tidak.

Karena itu, menghentikan perkembangan urusan TKI sebagai urusan bisnis dengan “membunuh” eksistensi perusahaan penempatan merupakan pilihan yang tidak terhindarkan. Kita harus mengubah nama urusan ini menjadi urusan sosial, dengan mengandalkan pelaku baru yang adalah entitas sosial. Bukan entitas bisnis. Yang mampu membawa turun harga sampai ke tingkat dimana pemain kotor merasa tidak menguntungkan lagi.

Pergantian actor yang lebih social dengan misi social juga bisa menjawab kekurangan yang selama ini cukup jelas diperlihatkan oleh pelaku penempatan swasta. Selama ini, tanggung jawab perusahaan penempatan selama masa penempatan terlalu terbatas pada tanggung jawab insidental, yakni ketika mulai muncul masalah yang dihadapi pekerja migran. Mereka tidak melakukan pekerjaan monitoring yang sistematis untuk mencegah dan mengantisipasi persoalan.

Hal lain yang harus dikatakan adalah kenyataan bahwa eksistensi perusahaan penempatan ini jauh di Jakarta. Jauh dari kedekatan sosial dan psikologis dengan pekerja dan keluarga serta komunitasnya. Orang di kampung, dengan disiplin dokumentasi yang rendah, akan sulit mengingat siapa yang merekrut anak mereka, alamatnya dimana, berapa nomor teleponnya. Maka begitu ada masalah, sulit bagi kita untuk melacak dengan cepat dan berkomunikasi dengan efektif untuk menyelesaikan masalah.

Sudah saatnya mempertimbangkan suatu entitas yang lebih bertanggung jawab, yang lebih dekat dengan masyarakat lokal, yang dapat dengan mudah dimintai pertanggungjawaban di tingkat lokal, yang dirasakan sebagai milik orang lokal, yang setia mendampingi dan memberi perlindungan bahkan ketika sudah ditempatkan. Dan organisasi civil society lokal dapat diberi kepercayaan untuk itu, tentu yang dibentuk oleh Pemerintah Daerah dan diberikan dukungan terutama untuk penanganan keadaan darurat. Perusahaan asuransi juga sebaiknya perusahaan asuransi yang ditentukan sendiri oleh badan lokal ini, dengan harapan bisa memberdayakan juga usaha-usaha asuransi lokal.

4. SPR Perusahaan Penempatan

Selain menghadirkan kondisi yang memungkinkan berkembangnya kekotoran bisnis PMI di negara penempatan, dalam hal ini Malaysia, Perusahaan Penempatan juga menghadirkan kondisi yang (sadar atau tidak, sengaja atau tidak) mengamankan perkembangan human trafficking di lapangan.

Dengan modal surat pengantar rekrut (SPR) dan surat keterangan jati diri sebagai petugas lapangan suatu perusahaan penempatan, seorang petugas lapangan dapat bergerak dengan leluasa di lapangan. Ketika berada di bawah pengawasan atau ketika ada resistensi di lapangan, kedua surat itu dapat ditunjukkan, dan petugas lapangan tersebut dapat berperan sungguh-sungguh sebagai petugas lapangan untuk perusahaan tertentu dan mengikuti semua prosedur dengan baik.

Keputusan moratorium pengiriman PMI yang dilakukan oleh Pemda yang terjadi di beberapa tempat di Indonesia dalam suatu perspektif yang tepat, walau mungkin pengambil kebijakan di Daerah melakukannya tanpa perspektif tertentu, hanya karena galau menghadapi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News