Nasib di Tangan Trafo

Nasib di Tangan Trafo
Nasib di Tangan Trafo
KETIKA dilantik sebagai direktur utama PLN pada 23 Desember 2009, saya menyadari sepenuhnya risiko ini: harus berhenti, mengundurkan diri atau diberhentikan, dalam waktu yang pendek. Mungkin satu bulan, dua bulan, tiga bulan, atau enam bulan. Nasib saya benar-benar di ujung tanduk. Di Jakarta ini, di pusat kekuasaan ini, listrik bisa saja tiba-tiba padam masal untuk wilayah yang amat luas dan untuk jangka waktu yang sangat panjang. Kalau itu terjadi, sudah bisa dibayangkan betapa marahnya orang se-Jakarta. Kejadian yang menimpa PLN pada akhir 2009 sangat mungkin menimpa saya dalam waktu sebelum satu tahun masa jabatan saya.

 

Penyebabnya jelas. Gardu induk tegangan ekstratinggi (GITET) di sekitar Jakarta ini sangat mendebarkan. Seluruh (enam)  GITET yang menyangga listrik Jakarta itu tidak memiliki trafo cadangan. Padahal, beban setiap GITET tersebut sudah sangat tinggi. Sudah lebih dari 85 persen. Pada saat-saat suhu udara Jakarta meningkat di siang hari, beban sepenuh itu sangat-sangat rawan.

Apalagi gangguan gelombang harmonisa di Jakarta ini luar biasa besar. Yakni gelombang yang ditimbulkan oleh lampu hemat energi dan oleh peralatan yang serbakomputer di Jakarta. Beban yang kelihatannya 85 persen tersebut bisa-bisa sudah "terbaca" 95 persen oleh sistem di dalam trafo. Ini bisa membuat trafo salah baca dan terganggu.

 

Saya memang memimpikan bahwa kelak era lampu hemat energi tersebut harus diakhiri. Tapi, itu sepenuhnya memerlukan kebijakan nasional. Di luar jangkauan PLN. Lampu hemat energi itu sudah harus diganti dengan lampu LED. Di Tiongkok lampu sudah begitu semua. Hematnya superhemat. APBD kabupaten/kota tidak akan tersedot ke lampu jalan raya.

KETIKA dilantik sebagai direktur utama PLN pada 23 Desember 2009, saya menyadari sepenuhnya risiko ini: harus berhenti, mengundurkan diri atau diberhentikan,

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News