OKB, Kere di Saat yang Lain Kaya, Jatuh dan Kena Ambrukan

Oleh: Dhimam Abror Djuraid

OKB, Kere di Saat yang Lain Kaya, Jatuh dan Kena Ambrukan
Ilustrasi - Pemulung memungut dan memilah sampah. Foto: ANTARA/Muhammad Zulfikar

Dengan uang sejumlah itu sulit dibayangkan seseorang bisa survive di kota besar. Namun, kenyataannya masih sangat banyak orang yang berpenghasilan di bawah itu, dan bisa bertahan di kota maupun di desa, dengan kondisi yang benar-benar minimalis.

Di kota, mereka menjadi bagian dari urban poor yang tinggal di perkampungan kumuh, di bawah kolong jembatan, dan di bantaran sungai.

Mereka hidup dari memulung barang bekas, menjadi kuli bangunan, menjadi kuli angkut di pasar, atau menjadi gepeng, gelandangan dan pengemis. Mereka hidup tanpa listrik, tanpa air bersih, tanpa fasilitas kesehatan, dan tidak bisa menjangkau fasilitas pendidikan.

Di desa, orang-orang miskin ini adalah buruh tani dan pekerja kasar yang bekerja serabutan. Orang-orang miskin desa masih bisa bertahan hidup karena didukung oleh kekerabatan yang masih cukup kental.

Orang-orang miskin desa ini menjadi pengangguran terselubung yang sulit terjangkau oleh statistik.

Patokan baru Bank Dunia malah memasang standar penghasilan USD 5 per hari untuk menentukan garis kemiskinan. Dengan patokan itu, orang-orang yang berpenghasilan Rp 2,25 juta masuk dalam kategori miskin.

Angka itu adalah angka rata-rata upah minimum regional (UMR) di beberapa kota kecil di kabupaten. Kota-kota besar seperti Surabaya upah minimum sudah mendekati Rp 5 juta.

Bank Dunia membuat kategori ‘’poor, nearly poor, dan extreme poor’’ (miskin, hampir miskin, dan miskin mutlak). Mereka yang berpengahasilan USD 5 per hari masuk dalam kategori ‘’nearly poor’’ dan sangat rentan menjadi ‘’poor’’.

OKB yang ini bukan orang kaya baru, tetapi yang nasibnya sangat mengenaskan. Jatuh tertimpa tangga, kena ambrukan rumah.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News