Pacu Jalur Kuantan Singingi, Festival Menjaga Tradisi

Pacu Jalur Kuantan Singingi, Festival Menjaga Tradisi
Suasana Meriah Lomba Pacu Jalur di Kuantan Singingi. Foto: IST

Adapun jenis makanannya adalah makanan tradisional setempat, seperti: konji, godok, lopek, paniaran, lida kambing, dan buah golek. Sedangkan, lomba yang berhadiah, penyelenggara mesti menyediakan empat buah marewa2 yang ukurannya berbeda-beda. Juara I memperoleh ukuran yang besar dan juara IV memperoleh ukuran yang paling kecil. Namun, dewasa ini hadiah tidak lagi berupa marewa tetapi berupa hewan ternak (sapi, kerbau, atau kambing).

 

Ketika Belanda mulai memasuki daerah Riau (sekitar tahun 1905), tepatnya di kawasan yang sekarang menjadi Kota Teluk Kuantan, mereka memanfaatkan pacu jalur dalam merayakan hari ulang tahun Ratu Wilhelmina yang jatuh pada setiap tanggal 31 Agustus. Akibatnya, pacu jalur tidak lagi dirayakan pada hari-hari raya umat Islam. Penduduk Teluk Kuantan malah menganggap setiap perayaan HUT Ratu Wilhelmina itu sebagai datangnya tahun baru. Oleh karena itu, sampai saat ini masih ada yang menyebut kegiatan pacu jalur sebagai pacu tambaru. Kegiatan pacu jalur sempat terhenti di zaman Jepang. Namun, pada masa kemerdekaan pacu jalur diadakan kembali secara rutin untuk memperingati hari ulang tahun kemerdekaan Republik Indonesia (17- Agustusan).

Banyak makna yang muncul dari tradisi pacu jalur ini. Tidak sebatas perlombaan yang rutin digelar sekali dalam setahun. Dimulai dari semangat gotong royong masyarakat. Semangat kegotong royongan terlihat mulai dari proses pembuatan jalur hingga perlombaan. Biasanya masyarakat Kuansing melakukan musyawarah terlebih dahulu sebelum pembuatan jalur. Setelah semua sepakat baru kemudian mereka bersama-sama ke hutan mencari pohon besar yang nantinya akan digunakan untuk pembuatan jalur tersebut.

Bukan hal yang mudah, ada begitu banyak proses yang harus dilalui, jika sudah mendapatkan pohon yang cocok untuk dijadikan jalur, maka harus dilakukan tradisi persembahan untuk meminta izin sebelum dilakukan penebangan pohon. Pemilihan pohon yang akan dijadikan jalur juga tidak sembarangan, karena kayu yang digunakan akan sangat mempengaruhi hasil lomba nantinya. Di luar peran dari pawang ataupun dukun jalur tentunya.

Masyarakat pun meyakini kalau pohon yang sudah ditebang kemudian dijadikan jalur tersebut akan tetap hidup secara ghaib. Peran dari dukun jalur inilah nantinya yang akan menentukan kencang atau tidaknya jalur ini ketika dilombakan, makanya tidak heran kalau kita melihat ada prosesi yang dilakukan pada saat mencari, membuat, dan melepas jalur ke gelanggang pacuan.

Biasanya sebelum pacu jalur dimulai diawali dengan Upacara Sakral dan Magis oleh Pawang jalur. Seluruh Desa dan Kecamatan di Kabupaten Kuantan Singing mengirimkan wakilnya untuk mengikuti lomba sebagai partisipasi dan prestise masing-masing desa. Disamping pacu jalur diadakan juga Pekan Raya Kuantan Singing, pertunjukan Sendratari, lagu daerah, randai, dan sebagainya.

Dentuman Meriam

RIBUAN penonton di tepian Narosa terdengar riuh rendah. Mereka memberi semangat pada anak jalur yang baru saja lepas. 40 pemuda mengayuh kencang

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News