Pak Harto

Oleh: Dhimam Abror Djuraid

Pak Harto
Pembacaan Al-Qur'an dan doa dalam acara peringatan 100 tahun Soeharto di Mesjid Agung At-Tin, Taman Mini Indonesia Indah, Selasa (8/6). Foto: Kenny Kurnia Putra/JPNN.com

Negara integralistik kolektif usulan Soepomo lebih menekankan pada hak negara dibanding hak individual. Setelah melalui perdebatan sengit akhirnya dicapai kompromi pada rumusan sila keempat.

Marsillam Simanjuntak dalam "Negara Integralistik" (1995) menganggap pandangan integralistik yang diajukan Soepomo itu mirip dengan fasisme yang dikembangkan Hitler di Jerman dan Mussolini di Italia.

Menurut Marsillam, pandangan negara integralistik yang disampaikan oleh Soepomo itulah yang belakangan diadopsi oleh Orde Baru di bawah Soeharto.

Upaya Bung Karno untuk menyeimbangkan kekuatan-kekuatan yang besaing antara nasionalisme, komunisme, dan agama, melahirkan sintesa Nasakom yang mencoba meramu tiga pandangan yang sebenarnya bertentangan secara diametral itu.

Nasakom membawa Bung Karno berhadapan head to head dengan TNI, yang berakhir dengan jatuhnya Bung Karno setelah gagalnya pemberontakan PKI (Partai Komunis Indonesia), 1965.

Soeharto muncul sebagai antitesa Bung Karno. Seorang jenderal lapangan yang tekun dan tajam dalam membaca situasi.

Soeharto langsung mengadakan pembersihan terhadap PKI. Soeharto melakukan konsolidasi dengan cepat. Ia melakukan deparpolisasi untuk mendapatkan stabilitas nasional yang diyakininya sebagai prasyarat wajib bagi pembangunan ekonomi.

Era politik sebagai panglima yang ingar-bingar berubah menjadi era ekonomi sebagai panglima yang sibuk dengan pembangunan fisik. Deparpolisasi yang dilakukan Soeharto dilakukan seiring dilakukannya de-Soekarnoisasi. Segala macam yang berbau Soekarno disingkirkan dan dibersihkan.

Masa pemerintahan Orde Baru yang dipimpinnya selama 32 tahun berhasil mengangkat ekonomi Indonesia.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News