Pak Manteb

Pak Manteb
Ki Manteb Sudarsono dalam sebuah pertunjukan. Foto: ISWARA BAGUS/RADAR SOLO

Dua mazhab itu berbeda, tetapi Seno bisa memadukannya dan menciptakan genre baru yang eklektik, tetapi menarik.

Baca Juga:

Sebagai sebuah kesenian tradisional wayang Indonesia menghadapi ancaman budaya pop modern sejak munculnya era televisi pada 1980-an. Pada era itu kesenian tradisional harus mengubah format dan pakem untuk menyesuaikan diri dengan format pertunjukan televisi.

Seni tradisional, seperti ludruk dari Jawa Timur, tidak berhasil menembus televisi nasional dan hanya bertahan sebagai kesenian tradisional dari panggung ke panggung.

Ludruk hanya muncul di televisi lokal dengan format yang tidak banyak berbeda dengan format tradisional.

Ludruk tidak berhasil bertransformasi dari panggung tradisional ke panggung televisi, dan tidak melahirkan seniman-seniman yang dikenal di lingkaran selebritas nasional.

Kesenian ketoprak lebih sukses dalam melakukan transformasi dari panggung tradisional ke panggung televisi. Pada 1990 lahir banyak versi ketoprak yang sukses menjadi pertunjukan televisi. Salah satu yang paling terkenal adalah format ketoprak humor yang mampu meraih rating tinggi di televisi.

Dalam melakukan transfomasi itu ketoprak banyak melakukan penyesuaian pakem. Durasi menjadi lebih pendek dan lakon-lakon yang disajikan lebih disesuaikan dengan keinginan pasar.

Pelaku ketoprak tradisional tentu kecewa dengan pemerkosaan budaya seperti ini. Namun, untuk bisa survive dari serangan modernitas, strategi budaya adaptif memang harus dilakukan.

Di tangan Pak Manteb, pertempuran wayang menjadi adegan yang hidup, penuh dengan gerakan cepat yang indah dan elegan.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News