Pakar Hukum Sebut Sistem Proporsional Terbuka Membuat Masyarakat Antipartai

Pakar Hukum Sebut Sistem Proporsional Terbuka Membuat Masyarakat Antipartai
Pakar Hukum Tata Negara Universitas Sebelas Maret (UNS) Dr. Agus Riewanto menilai sistem proporsional terbuka pada pemilu atau berbasis caleg memiliki kelemahan dalam pelaksanaannya. Foto/ilustrasi: arsip JPNN.com/Ricardo

Demikian pula hasil survei nasional Litbang Kompas pada Januari 2022 menunjukkan lemahnya party-ID di Indonesia.

Dari 1.200 responden yang tersebar di seluruh provinsi di Indonesia menemukan 67,3 persen pemilih tidak ada ikatan Party-ID. Pemilih yang menyatakan ada ikatan Party-ID hanya 23,8 persen.

Selain melemahkan Party-ID, persoalan kedua yang disebabkan oleh sistem proporsional terbuka melahirkan fenomena antipartai politik atau deparpolisasi yang berdampak buruk bagi bangunan demokrasi di Indonesia.

“Terjadi perubahan pilihan pemilih dari satu partai politik ke partai politik lain, dari satu pemilu ke pemilu selanjutnya, sehingga pemilu menghasilkan perubahan dramatis yang ditandai naik-turunnya dukungan pemilih terhadap partai,” ujar Agus.

Dampak buruknya, lanjut dia, pemilu hanya bergantung pada figur atau kandidat atau calegnya.

"Pemilih lebih mempertimbangkan pada caleg yang popular dan bermodal uang bukan pada kesamaan Party-ID,” tutup Agus.

Untuk diketahui, saat ini Mahkamah Konstitusi (MK) sedang menguji materi (judicial review) UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu terkait sistem proporsional terbuka. Apabila judicial review itu dikabulkan oleh MK, maka sistem pemilu pada 2024 mendatang akan berubah menjadi sistem proporsional tertutup.

Sistem proporsional tertutup memungkinkan para pemilih hanya disajikan logo partai politik (parpol) pada surat suara, bukan nama kader partai yang mengikuti pileg.

Sistem proporsional terbuka dianggap melemahkan kedekatan masyarakat dengan partai politik tertentu atau Party ID.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News