Pakar Minta Pembangunan PLTN di Indonesia Harus Dipertimbangkan Lagi, Ini Alasannya

Pakar Minta Pembangunan PLTN di Indonesia Harus Dipertimbangkan Lagi, Ini Alasannya
Mantan Anggota Dewan Energi Nasional Dwi Hary Soeryadi (memegang mic) dalam konferensi pers di Jakarta, Kamis (27/2/2020). Foto: ANTARA/Indriani/pri.

Ketiga, mengoptimalkan penggunaan gas bumi. Keempat, batubara sebagai andalan pasokan energi nasional (penyeimbang). Kelima, energi nuklir sebagai pilihan terakhir.

"Nah, di sinilah kalau dibilang sebagai pilihan terakhir, yang pro nuklir agak kurang nyaman karena menurut mereka energi nuklir bukan pilihan terakhir. Tapi, inilah yang ada di aturan berlaku yang seharusnya kita pegang," ujar Dwi.

Menanggapi pemaparan Dwi, Profesor Agoes Soegianto, pakar ekotoksikologi dari Program Studi Biologi Unair mengatakan, manajemen nuklir penting menjadi perhatian utama.

Menurutnya, penerapan nuklir perlu dijalankan secara serius, penuh disiplin, dan kehatian-hatian sehingga segalanya terjaga.

"Saya termasuk yang tidak setuju PLTN sekarang. Selain kedisiplinan, habit masyarakat kita belum siap. Manajemen nuklir di Soviet yang menyebabkan kecelakaan Chernobyl saya kira mirip-mirip seperti di negara kita.

Kalau Jepang atau Prancis mungkin memang lebih siap. Perlu ahli yang fokus menyiapkan ini," katanya.

Tanggapan berbeda disampaikan Profesor Dr. Retna Apsari dari Departemen Fisika Unair.

Ia penasaran mengapa PLTN selalu menjadi wacana dan diskusi bertahun-tahun namun tidak juga diimplementasikan.

Selama beberapa dekade terakhir, negara-negara di dunia berlomba-lomba untuk membangun Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) untuk memenuhi kebutuhan energinya.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News