Pancingan Aceh Istanbul

Oleh Dahlan Iskan

Pancingan Aceh Istanbul
Dahlan Iskan bersama para mahasiswa Indonesia di Turki saat berdialog di sebuah restoran di Istanbul. Foto: Instagram/dahlaniskan19

Suara azan terdengar keras. Setiap tiba waktu salat. Bersahut-sahutan. Dari pengeras suara di atas masjid. Yang jumlahnya begitu banyak.

Hanya di Kota Izmir yang agak beda. Jumlah masjidnya tidak sebanyak kota lain. Suara azan juga terasa dari arah yang lebih jauh.

Dalam kehidupan sehari-hari tidak terasa islamisasi itu. Hijaber, misalnya, lebih terasa di Indonesia. Gerakan salat, misalnya, jauh dari praktik di Indonesia.

“Turki segala sesuatunya serba ekstrem,” ujar Dwi Retno Widiyanti. Dia mahasiswa S-3 ekonomi Islam. Di Universitas Mediteranian Istanbul di Marmara.

Aslinya Blitar. SMA di Pondok Putri Gontor di Mantingan, Ngawi. S-2 di UGM. Juga ekonomi Islam. S-1 nya di IAIN.

Ayahnya wiraswasta. Pedagang marmer. “Marmer itu, mungkin, yang membuat saya kuliah di Marmara,” guraunya.

Di zaman Islam Usmani, Turki memang jaya. Tapi jauh ketinggalan dari Eropa yang Kristen. Kian lama kian jauh. Lalu ingin mengejar kemajuan Eropa.

Jalan yang ditempuh pun ekstrem: memisahkan agama dari negara. Seperti yang dilakukan Eropa: memisahkan gereja dari negara.

Islamisasi di Turki ternyata tak sehebat yang dikesankan media. Tetap negara sekuler. Konstitusinya masih belum berubah.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News