Parpol dan Kepemimpinan Politik

Oleh; Airlangga Pribadi Kusman*

Parpol dan Kepemimpinan Politik
Parpol dan Kepemimpinan Politik

jpnn.com - DALAM setiap perjuangan menuju perubahan politik, tantangan politik terbesar bukanlah pada momen kemenangan dalam pertarungan politik elektoral yang melegitimasi sebuah kepemimpinan politik. Tantangan terbesar dimulai sesaat setelah kemenangan di tangan dan seluruh pihak menanti pembuktian dari janji-janji yang terlontar sebelumnya.

Seperti halnya kerasnya perjuangan hidup, tidaklah dimulai ketika fajar menyingsing dan indahnya embun pagi menetes di dedaunan. Perjuangan hidup dimulai sesaat setelahnya, ketika terik mentari mulai menyengat dan kita berkubang dalam pusaran masalah dalam bekerja mencari bekal hidup kita.   

Pada konteks inilah peran Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) yang saat ini tengah merayakan hari ulang tahun (HUT) ke-42 menemukan relevansinya. Sebagai kekuatan utama pendukung presiden terpilih dalam pergantian rezim, PDIP dituntut desakan sejarah untuk merealisasikan apa yang telah dicanangkan sebagai janji politik kepada rakyat Indonesia.

Dalam babak baru pasca-Pilpres 2014, PDIP sebagai bagian dari political resource (sumber daya politik) dari kekuasaan menghadapi tantangan baru untuk merealisasikan laku kepemimpinan politik. Kepemimpinan yang diharapkan berjalan seiring dengan ideologi kerakyatan dan kehendak publik dalam mengelola hidup bernegara.

Kunci keberhasilan maupun kegagalan politik dalam setiap pemerintahan terletak pada kemampuan dari pemimpin untuk mengelola kepemimpinan politik. Dalam konstelasi politik modern, seperti diutarakan profesor ilmu politik dari MIT Richard J. Samuels (2003), kepemimpinan politik dapat dimaknai sebagai kemampuan pemimpin dalam mengelola sumber daya sosial yang tersedia untuk melenturkan segenap hambatan politik yang dihadapi demi mencapai visi politik yang dicita-citakan.

Sumber daya yang secara potensial dimiliki pemimpin untuk mengelola kehidupan bernegara dapat berupa ideologi politik untuk menjaga dukungan politik publik; dukungan institusi seperti partai politik maupun gerakan sosial. Sementara hambatan politik adalah kekuatan sosial yang membatasi pilihan-pilihan politik yang tersedia bagi pemimpin untuk melakukan transformasi sosial.

Menyoroti dinamika politik Indonesia terkini, pemahaman akan kepemimpinan politik seperti di atas dapat kita proyeksikan untuk memahami perjalanan kepemimpinan politik dwitunggal Joko Widodo-Jusuf Kalla selama lima tahun ke depan. Sehubungan dengan posisi PDIP, sebagai agensi politik, partai ini dapat memerankan diri sebagai sumber daya utama sebagai penentu bagi keberhasilan kepemimpinan politik maupun sebaliknya menjadi constraining variable (variabel penghalang). Ketika hasrat kekuasaan mengalahkan komitmen untuk membaktikan diri bagi perwujudan ideologi nasionalisme kerakyatan (marhaenisme) yang menjadi alasan keberadaannya.  

Memobilisasi Sumber Daya
Sehubungan dengan peran PDIP sebagai pendukung pemerintahan baru, ada beberapa hal yang perlu dicermati agar peran partai menjadi lebih konstruktif sebagai bagian strategis dari sumber daya politik kekuasaan. Pertama-tama, PDIP sebagai partai yang lahir dari rahim ideologi nasionalisme kerakyatan –sebagai bagian dari ajaran Soekarno– saatnya menemukan kembali elan vitalnya sebagai partai pelopor.

Dalam risalah Soekarno Mencapai Indonesia Merdeka (1933), beliau menekankan tugas partai politik yang harus berpegang teguh dalam disiplin politik sebagai kekuatan yang menjadi suluh bagi kehendak bersama. Partai politik memiliki tugas mengolah tenaga rakyat dalam perjuangan politik dalam kehidupan bernegara. Disiplin politik yang diperlukan PDIP sebagai sumber daya kekuasaan di era baru ini bukanlah disiplin hierarkis yang membiakkan patronase politik yang telah berurat akar dalam kehidupan kepartaian di Indonesia.

Disiplin politik yang penting ditanamkan bukanlah disiplin kader-kader yang mengabdi pada kepentingan oligarki kekuasaan sehingga menjadikan kader-kadernya perangkat dari praktik-praktik pertahanan kemakmuran dari para petinggi elitenya. Mengingat kultur feodalisme ala ”bangsawan oesoel” yang memenjarakan daya hidup rakyat bumiputra inilah yang sebenarnya dikecam dan ingin dihancurkan Soekarno dalam setiap pesan-pesan di tulisannya.

DALAM setiap perjuangan menuju perubahan politik, tantangan politik terbesar bukanlah pada momen kemenangan dalam pertarungan politik elektoral yang

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News