PBNU Anggap Presiden Jokowi Ambil Langkah Cerdas soal Perppu Ormas

PBNU Anggap Presiden Jokowi Ambil Langkah Cerdas soal Perppu Ormas
Nahdatul Ulama. Ilustrasi: nu.or.id

jpnn.com, JAKARTA - Pengurus Besar Nahdatul Ulama (PBNU) mendukung langkah Presiden Joko Widodo (Jokowi) menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Nomor 2 tahun 2017 tentang Organisasi Kemasyarakatan (Ormas). Bahkan, Ketua PBNU Robikin Emhas menyebut Presiden Jokowi telah melakukan langkah cerdas dengan menerbitkan perppu yang merevisi UU Nomor 17 Tahun 2013 tentang Ormas itu.

“PBNU menilai langkah presiden tersebut sangat cerdas dan aspiratif. Bahkan tepat dan konstitusional,” kata Robikin di Jakarta, Rabu (12/7).

Sebelumnya, 14 ormas termasuk NU yang tergabung dalam Lembaga Persahabatan Ormas Islam (LPOI) meminta pemerintah segera menerbitkan perppu untuk membekukan ormas anti-Pancasila. Ke-14 ormas itu adalah NU, Persatuan Islam, Al-Irsyad, Al-Islamiyah, Arrobithoh Al-Alawiyah, Persatuan Islam Tionghoa Indonesia, Mathlaul Anwar, Attihadiyah, Azzikra, Al-Wasliyah, IKADI, Syarikat Islam Indonesia, Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti), dan Dewan Da’wah Islamiyah.
           
Robikin menegaskan, perppu baru itu patut didukung. “Karena akan mempercepat proses hukum penanganan ormas radikal tanpa memberangus hak-hak konstitusional ormas,”  tegasnya.

Dia menambahkan, belakangan ini penyebaran paham radikal di Indonesia berlangsung sangat masif dan terstruktur. Kalau hal itu dibiarkan sementara aturan dan perundang-undangannya tidak memadai untuk menanggulanginya, maka akan sangat membahayakan persatuan dan kesatuan bangsa. “Bahkan kelangsungan NKRI,” tegasnya.
           
Robikin menambahkan, UU Ormas yang ada memang kurang memadai. Di sisi lain, diperlukan upaya cepat untuk menutup celah hukum yang ada.

UUD 1945 dengan tegas membari hak konstitusional kepada presiden untuk menerbitkan perppu manakala terdapat kegentingan yang memaksa. “Namun konstitusi tidak menjelaskan apa yang dimaksud kegentingan yang memaksa,” katanya.          

Sedangkan Mahkamah Konstitusi melalui putusan bernomor 138/PUU-VII/2009 tanggal 8 Februari 2010 telah menentukan syarat agar suatu keadaan secara objektif disebut sebagai kegentingan yang memaksa. Pertama, adanya kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan suatu masalah hukum secara cepat berdasarkan UU yang berlaku.  

Kedua, UU yang dibutuhkan belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum. Ketiga, kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat UU secara prosedur biasa karena akan memakan waktu yang cukup lama.

“Padahal, keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian hukum untuk diselesaikan sesegera mungkin,” tuturnya.

Pengurus Besar Nahdatul Ulama (PBNU) mendukung langkah Presiden Joko Widodo (Jokowi) menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu)

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News