Pelayanan Publik Banyak Menimpa Perempuan, tapi Sayang...

Pelayanan Publik Banyak Menimpa Perempuan, tapi Sayang...
Ilustrasi. Foto: googleimage

jpnn.com - JAKARTA - Aktivis kegiatan sosial yang juga mantan Direktur Transparency International Indonesia (TII), Emmy Hafidz, menyayangkan rendahnya para perempuan mendaftarkan diri sebagai komisioner Ombudsman RI.

Dia mengaakan, lembaga yang memiliki peran strategis dalam pengawasan pelayanan publik seperti ORI seharusnya diisi lebih banyak kaum hawa. “Idealnya minimal 30 persen komisioner Ombudsman diisi perempuan,” kata Emmy, Jumat (25/9).

Emmy menjelaskan, peran perempuan di dalam jajaran komisioner ORI sangat penting karena perempuan memiliki beberapa kelebihan dibandingkan laki-laki.

Menurutnya, kelebihan itu antara lain bahwa perempuan lebih peka terhadap pelayanan publik. Selain itu, perempuan juga lebih care,  banyak mengurus atau melayani dan juga lebih sensitif terhadap kebutuhan. “Dan yang tak kalah penting, perempuan tidak terlalu rakus dalam meminta imbalan terkait pelayanan,” jelasnya.

Begitupun, guna memenuhi “kuota” minimal 30 persen, tidak lantas memperbolehkan proses seleksi berjalan ala kadarnya. Karena bagaimanapun, yang juga harus diperhatikan adalah kualitas perempuan itu sendiri. Jika memang tidak memenuhi kualifikasi, tentu saja jangan dipaksakan hanya karena yang bersangkutan adalah seorang perempuan. “Harus dilihat track record dan kualitasnya,” kata Emmy.

Pengamat politik Arbi Sanit juga sedih melihat minimnya minat perempuan untuk menjadi komisioner ORI. Padahal, seleksi komisioner ORI seharusnya bisa menjadi pintu bagi perempuan untuk melawan diskriminasi pelayanan publik yang banyak menimpa perempuan.

Arbi bahkan melihat setidaknya lima dari sembilan komisioner ORI seharusnya diisi perempuan. Dengan komposisi di atas 50 persen tersebut, Arbi yakin bahwa ORI bisa lebih efektif memperjuangkan pengaduan publik yang sifatnya diskriminatif terhadap perempuan.

“Yang sering menjadi korban pelayanan publik yang buruk adalah perempuan. Perempuan sangat rentan didiskriminasikan, karena pada tradisi yang masih paternalistik seperti Indonesia, mereka memang kurang memiliki keberanian untuk melawan buruknya public services,” kata Arbi.

JAKARTA - Aktivis kegiatan sosial yang juga mantan Direktur Transparency International Indonesia (TII), Emmy Hafidz, menyayangkan rendahnya para

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News