Penunggang Gajah, Agama, dan Politik

Oleh Dhimam Abror Djuraid

Penunggang Gajah, Agama, dan Politik
Dhimam Abror Djuraid. Foto: Ricardo/JPNN.com

jpnn.com - Beberapa tahun terakhir ini ada sesuatu yang berbeda dalam situasi kebangsaan kita. Terasa ada garis demarkasi yang membelah masyarakat menjadi dua dan menjadikan bangsa ini 'a divided nation’ atau bangsa yang terbelah.

Isu apa pun yang muncul hampir selalu membelah opini bangsa ini menjadi dua kubu yang berhadap-hadapan secara detrimental. Satu kadrun, lainnya cebong.

Berbagai isu, mulai dari penetapan hari raya, sampai pemilihan calon presiden selalu membelah masyarakat menjadi dua. Polarisasi itu sengit dan tajam, membuat diskusi isu publik menjadi tidak sehat.

Orang tidak peduli soal kesahihan argumen atau penjelasan yang lebih rasional. Orang lebih suka memakai 'pokoknya saya yang benar' sebagai argumen.

Perdebatan bisa menukik tajam ke ranah suku, agama, ras, antargolongan (SARA), sehingga pembahasan menjadi sangat kental bernuansa moral dan agama.

Masing-masing pihak merasa telah memberi argumen yang kuat dan tak bisa dibantah. Masing-masing pihak menuduh pihak lain bodoh, sesat pikir, bahkan dungu.

Pada dasarnya manusia adalah orang-orang yang baik. Akan tetapi, mengapa kemudian orang-orang yang baik itu mudah terbelah akibat pilihan politik atau agama?

Jonathan Haidt, ahli psikologi moral dari Amerika Serikat mencoba menjelaskan fenomena itu. Ia meneliti mengapa orang-orang baik bisa saling terpisah karena pilihan politik dan isu agama.

Satu kadrun, lainnya cebong. Isu apa pun yang muncul hampir selalu membelah opini bangsa ini menjadi dua kubu yang berhadap-hadapan secara detrimental.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News