Perdebatan Atribut Islam Nusantara ala Jokowi

Perdebatan Atribut Islam Nusantara ala Jokowi
Perdebatan Atribut Islam Nusantara ala Jokowi. Foto JPNN.com

Alasannya,  ketika Islam masuk ke Indonesia, sudah ada budaya yang terlebih dahulu tumbuh subur.  Karena  itu,  tidak  seharusnya budaya  tersebut  dihilangkan  begitu saja.

Islam yang tumbuh di Nusantara adalah Islam khas Nusantara dengan berbagai pernik budayanya yang berbeda dari Islam yang masuk dari jazirah Arab dengan kultur yang berbeda.

Kubu  lain  meyakini  bahwa  Islam adalah ajaran yang utuh dan komplet sekaligus murni. Tidak boleh ada tambahan pernik-pernik budaya atau nilai lokal yang akan menodai kemurnian Islam yang berfondasi tauhid.

Sejarah mencatat, Islam diterima secara  luas  di  tanah  Jawa  karena strategi  dakwah  yang  menekankan pada akulturasi budaya. Yang terjadi kemudian  adalah  perpaduan  antara tradisi Hindu-Buddha dengan tradisi baru Islam.

Sering tradisi-tradisi itu bisa menyatu, tetapi sering juga tidak berkesesuaian sehingga menimbulkan pertentangan berkepanjangan. Tradisi tahlil adalah salah satu contoh proyek akulturasi  yang  sampai  sekarang membelah para pemeluk Islam menjadi dua kutub yang berseberangan.

Clifford Geertz dalam Agama Jawa menyebut tiga aliran, santri, abangan, dan priyayi. Santri adalah kelompok yang lebih puritan dalam menyelenggarakan agama. Abangan adalah kelompok Islam Nusantara yang akulturatif.

Priyayi adalah kelompok elite sosial yang dalam tradisi agama lebih dekat ke kelompok abangan. Studi tersebut tetap relevan sampai sekarang.  

Definisi  Islam  Nusantara ala Jokowi memang belum jelas betul. Secara umum, maksudnya adalah Islam  yang  lebih  toleran  pada  tradisi Nusantara yang dalam hal ini harus dibaca sebagai Jawa.

ISLAM apakah yang kita peluk sekarang? Islam Nusantara, Islam Indonesia, Islam Jawa, Islam kosmopolitan, Islam liberal, Islam konservatif, atau Islam-Islam

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News