Perlu Program Terpadu untuk Warga Binaan Lapas Perempuan

Perlu Program Terpadu untuk Warga Binaan Lapas Perempuan
Pendiri The Foundation for International Human Rights Reporting Standards James Kallman memberikan kuliah umum “Peran Kemitraan Public-private dan Ilmu Psikologi dalam Program Pembinaan di Lapas” pada Jumat (28/9). Foto: Ist

jpnn.com, TANGERANG - Pendiri FIHRRST (The Foundation for International Human Rights Reporting Standards (FIHRRST) James Kallman mengatakan Lembaga Pemasyarakatan (LP) yang baik harus memiliki program pembinaan terpadu untuk Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP) yang dinaunginya. Sejauh ini, kebijakan Pemerintah Indonesia tentang rehabilitasi dan reintegrasi WBP telah sesuai dengan prinsip-prinsip internasional.

Salah satunya tertuang pada Pasal 2 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Lembaga Pemasyarakatan. Aturan tersebut menekankan pentingnya pembangunan karakter para WBP demi menjadi manusia yang seutuhnya, sehingga dapat diterima kembali oleh masyarakat. Nilai-nilai dasar tersebut telah sesuai dengan Prinsip 10 dalam Basic Principles for the Treatment of Prisoners yang menyatakan “Dengan partisipasi dan bantuan dari lembaga-lembaga masyarakat dan lembaga sosial, dan dengan memperhatikan kepentingan korban, kondisi yang memungkinkan selayaknya diciptakan untuk reintegrasi mantan WBP ke dalam masyarakat dalam kondisi terbaik.”

Perlu Program Terpadu untuk Warga Binaan Lapas Perempuan

Menurutnya, untuk partisipasi mendukung pelaksanaan Basic Principles for the Treatment of Prisoners, The Foundation for International Human Rights Reporting Standards (FIHRRST) bekerja sama dengan Jurusan Psikologi, Universitas Bina Nusantara (BINUS), telah melaksanakan program pembinaan WTP di Lembaga Pemasyarakatan Perempuan Kelas II A Tangerang, Banten.

Program itu terselenggara berkat bantuan Tifa Foundation dan kerjasama dengan Lembaga Pemasyarakatan Perempuan Tangerang dalam kerangka Kemitraan Public-Private.

LP Perempuan Kelas IIA Tangerang didirikan 1979 dan mulai difungsikan 1982. LP ini berkapasitas 250 orang. Namun, seperti kebanyakan LP di Indonesia yang mengalami kelebihan kapasitas, LP Perempuan Tangerang dihuni WBP 398 orang. Kelebihan kapasitas ini merupakan tantangan bagi institusi pengelola lembaga pemasyarakatan di Indonesia untuk memenuhi kaidah-kaidah sesuai Basic Principles for the Treatment of Prisoners.

WBP perempuan menghadapi permasalahan lebih kompleks, tidak hanya faktor psikis, tetapi juga psikologis. Sulitnya menerima kondisi yang terjadi, termasuk pemisahan dari keluarga dan sulit beradaptasi dengan lingkungan penjara, dan pengalaman trauma di masa lalu seringkali menjadi faktor yang membuat perempuan WBP cenderung memiliki tingkat permasalahan psikologis lebih tinggi. Situasi itu yang menunjukkan pentingnya penyediaan layanan kesehatan mental bagi para perempuan penghuni lembaga pemasyarakatan.

Melihat permasalahan tersebut FIHRRST bekerja sama dengan Jurusan Psikologi Universitas BINUS telah mengupayakan penguatan kondisi psikologis WBP perempuan di LP Tangerang. WBP yang memiliki pengalaman traumatis dan kendala dalam pengelolaan stres dan emosi, diberi kesempatan mengikuti konseling emosi dan trauma. Selain itu, pelatihan seperti parenting skill, pelatihan interpersonal, dan komunikasi efektif, juga diberikan kepada WBP.

Lembaga Pemasyarakatan (LP) yang baik harus memiliki program pembinaan terpadu untuk Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP) yang dinaunginya.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News