Perpres Pelibatan TNI Dalam Menangani Terorisme Bakal Timbulkan Kerancuan

Perpres Pelibatan TNI Dalam Menangani Terorisme Bakal Timbulkan Kerancuan
Komisioner Komisi Hak Asasi Manusia Antar-Pemerintah ASEAN (AICHR) Rafendi Djamin. Foto: Dokpri

Tumpang tindih dimungkinkan terjadi karena pada dasarnya terorisme adalah objek hukum pidana. Sebagaimana pidana lain, yang bertugas menanganinya adalah penegak hukum seperti Polri. Sementara TNI, sejak awal, tidak pernah didesain untuk menjalankan fungsi penegak hukum.

Tugas mereka, sebagaimana diatur dalam UUD 1945, adalah menjalankan fungsi pertahanan nasional, yakni menjaga negara dari ancaman militer luar negeri.

”Perpres ini cenderung melampaui kewenangan itu, juga kewenangan yang diatur dalam UU 34 tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI),” kata Rafendi

Aktivis HAM internasional ini berpendapat, urusan penegakan hukum harus tetap dipegang dalam satu sistem yang disebut criminal justice system. Sehingga, jangan sampai mengacaukan criminal justice system yang ada.

”Sebab, hal itu akan merugikan negara, karena bertentangan dengan UU TNI itu sendiri,” ujarnya. 

Undang-undang tersebut memang memberikan 14 fungsi TNI. Antara lain, fungsi operasi militer selain perang (OMSP) di mana di dalamnya termasuk pemberantasan terorisme. Artinya, memang ada tugas TNI untuk masuk ke masalah terorisme.

”Persoalan lebih pada bagaimana cara masuknya, itu yang dikacaukan oleh Perpres ini,” ujar Rafendi. 

Sudah begitu, draf Perpres juga mengikis kewenangan konsultatif DPR dan kewenangan Presiden untuk mengeluarkan Keputusan Presiden terkait pelibatan TNI dalam operasi militer selain perang.

Banyak pasal dalam draf Perpres tersebut yang rancu dan berpotensi tumpang tindih, bertabrakan dengan badan atau lembaga lain.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News