Pilih Tahlilan Ketimbang Selamatkan Nyawa

Pilih Tahlilan Ketimbang Selamatkan Nyawa
Pilih Tahlilan Ketimbang Selamatkan Nyawa

Sesekali wawancara pun terhenti ketika angin gunung menerbangkan abu vulkanis yang tebalnya mencapai 3-5 sentimeter di beberapa tempat tersebut. Wartawan koran ini beserta orang-orang di sekitar itu memang mengenakan masker dan goggle (kacamata pelindung). Tapi, semilir abu berbau belerang menyengat itu memang sangat mengganggu.

Gianto berkisah, pengungsi baru mau turun saat Merapi mulai menggeram dan mengeluarkan dentuman pukul 17.20-22.00. "Suaranya kencang sekali. Menakutkan," kata pria yang sudah tiga hari tidak tidur itu. Wajahnya terlihat lelah meski belum kuyu. Baju SAR yang dipakainya begitu kotor karena abu.

Gianto berewokan. Meski tak sampai memutih lantaran abu Merapi, berewok itu tampak "kumal". Maklum. Dua hari terakhir dia mengaku sudah menghabiskan lusinan masker. Betapa tidak, setiap setengah jam dia harus berganti masker. Sebab, tutup hidung yang tipis itu "biasanya berwarna hijau seperti yang dipakai di rumah sakit" akan tidak berfungsi kalau terlalu banyak tertutup abu. Tidak bisa untuk bernapas.

Gianto menuturkan, saat Merapi mulai "bangun", warga sendiri mulai minta turun. Meski begitu, tetap saja ada warga yang bandel. Mereka ogah turun. Karena itu, proses evakuasi warga ke barak pengungsian baru benar-benar tuntas kemarin sekitar pukul 03.00.

Evakuasi warga saat Merapi meletus Selasa lalu (26/10) adalah salah satu yang paling rumit. Warga seolah enggan meninggalkan wilayah berbahaya tersebut

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News