Pilih Tahlilan Ketimbang Selamatkan Nyawa
Kamis, 28 Oktober 2010 – 07:07 WIB
Evakuasi warga saat Merapi meletus Selasa lalu (26/10) adalah salah satu yang paling rumit. Warga seolah enggan meninggalkan wilayah berbahaya tersebut menjelang letusan. Itu pula yang diyakini membuat korban cukup banyak.
KARDONO SETYORAKHMADI, Jogjakarta
================================
================================
KARDONO SETYORAKHMADI, Jogjakarta
================================
MENGAPA warga begitu lambat untuk turun ke barak pengungsian? Apa sejatinya yang menahan mereka untuk bertahan beberapa kilometer dari puncak Merapi yang sedang murka? Mengapa mereka seolah enggan mengamankan nyawa yang hanya satu-satunya?
Berbagai pertanyaan itu memang mengganjal. Terutama di benak para relawan yang bertugas di lereng Merapi. Hal itu diungkapkan Gianto Raharjo, koordinator evakuasi kawasan Cangkringan. Saat status Merapi naik menjadi Awas Merapi pada Selasa dini hari (26/10), tetap tak banyak warga yang mau mengungsi. "Sampai Selasa sore, paling banter 30 persen," ujar Gianto.
Kemarin (27/10) dia diwawancarai koran ini di Kali Gendol. Itu adalah ground zero yang jaraknya hanya 3 kilometer dari puncak Merapi. Cukup membuat waswas. Bau belerang masih begitu menyengat. Putihnya abu vulkanis membuat lereng itu seperti berselimut salju. Tidak dingin. Panas.
Evakuasi warga saat Merapi meletus Selasa lalu (26/10) adalah salah satu yang paling rumit. Warga seolah enggan meninggalkan wilayah berbahaya tersebut
BERITA TERKAIT
- Ninis Kesuma Adriani, Srikandi BUMN Inspiratif di Balik Ketahanan Pangan Nasional
- Dulu Penerjemah Bahasa, kini Jadi Pengusaha Berkat PTFI
- Mengintip Pasar Apung di KCBN Muaro Jambi, Perempuan Pelaku Utama, Mayoritas Sarjana
- Tony Wenas, Antara Misi di Freeport dan Jiwa Rock
- Hujan & Petir Tak Patahkan Semangat Polri Sampaikan Pesan Pemilu Damai ke Wilayah Terluar Dumai
- Tentang Nusakambangan, Pulau yang Diusulkan Ganjar Jadi Pembuangan Koruptor