Polda Metro Jaya Dinilai Tidak Profesional dalam Kasus Tanah Pecenongan

Polda Metro Jaya Dinilai Tidak Profesional dalam Kasus Tanah Pecenongan
Gedung Ditreskrimum Polda Metro Jaya. Foto: Fransikus Adryanto Pratama/JPNN

Penyalahgunaan Kekuasaan

Terkait hal ini, Guru Besar Hukum Universitas Padjadjaran Prof. I Gede Pantja Astawa sempat menegaskan bahwa UU Kepolisian menekankan pelarangan terbitnya double sprindikalias sprindik ganda yang disebutkan sebagai penyalahgunaan kekuasaan.

"Terlepas dari ada atau tidaknya conflict of interest antara penyidik dan pelapor, maka kalau mengacu pada UU Kepolisian yang melarang terbitnya sprindik double, tindakan Polda Metro Jaya sudah masuk dalam kategori abuse of power," tutur Astawa.

"Ini akan menimbulkan ketidakpastian hukum khususnya bagi tersangka, terlebih perkaranya sudah pernah di-SP3-kan," imbuhnya.

Sebagai gambaran, Rio menjabarkan bahwa Lutfi merupakan pemilik asli tanah tersebut secara turun temurun sejak 1947, dengan legalitas kepemilikan berupa Eigendom Verponding Nomor 8923 yang tercatat, di BPN Kota Jakarta Pusat.

Namun, suatu waktu PT. MAS tiba-tiba mengklaim tanah itu sebagai miliknya dengan dasar legalitas SHGB Nomor 1444/Kebon Kelapa yang diterbitkan oleh kantor BPN Kota Jakarta Pusat, pada 31 Maret 1989, kepada PT. Perkebunan XI yang notabene berstatus sebagai penyewa di tanah keluarga Lutfi.

Disebutkan dalam SHGB itu bahwa riwayat penerbitannya berasal dari tanah negara bekas HGB Nomor 130, 131, 132, 134, 142/Kebon Kelapa dengan Eigendom Verponding Nomor 20850, 20847, 8387, 20851, dan 21896 yang ternyata tak satu pun berkesesuaian dengan lokasi tanah milik keluarga Lutfi.

Kendati tidak berkesesuaian alas hak, penyidik tetap memproses laporan PT MAS, bahkan menetapkan Lutfi sebagai tersangkauntuk kedua kalinya.

Rio Capella menegaskan perkara ini pernah dihentikan penyidikannya (SP3) oleh Polda Metro Jaya melalui surat bernomer B/243/v/2017/Ditreskrimum

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News