Polemik Jawa Satu Abad

Polemik Jawa Satu Abad
Polemik Jawa Satu Abad
Memang, hakekat kebudayaan selalu mengalir. Evolusi, akulturasi dan degradasi dimungkinkan oleh pergaulan internasional. Indonesia juga dipengaruhi dan diubah oleh datangnya Hindu, Islam, Kristen, kolonialisme Belanda dan fasisme Jepang hingga ke era kemerdekaan, Orde Lama, Orde Baru dan masa reformasi.

Sistem pemerintahan kita pun tak dipungkiri didominasi demokrasi yang datang dari luar. Contoh teranyar adalah demokrasi one man one vote, yang tak dikenal dalam sistem masa silam yang feodalis dan monarkis. Dulu saban Pemilihan Presiden, hanya sejumlah kecil warga Indonesia yang berhak memilih, yang direpresentasikan oleh anggota MPR, yang bahkan anggotanya banyak yang diangkat pemerintah, dan tidak dipilih dalam Pemilu.

***

Sembilan puluh tahun setelah Tjipto Mangoenkoesoemo mendobrak “Nasionalisme Jawa” terdengar pula gebrakan dari Sri Sultan Hamengku Buwono X, persisnya pada suatu hari di bulan September 2008. Penampilan Sri Sultan dalam suatu acara talk show di SCTV, saya kira sangat mencerahkan. “Jika saya membuka festival kebudayaan di Papua atau Sumatera, tak mungkin saya memalu gong Jawa,” kata Sri Sultan ketika ditanya pengamat politik Rocky Gerung dan pakar sejarah Anhar Gonggong. Jawaban itu diucapkan seorang Raja Jawa, yang terwaris turun temurun dari ayah dan kakek buyutnya, penguasa Mataram nan menyejarah.

Sultan pun lebih memilih “Sumpah Pemuda”, satu bangsa, satu Tanah Air dan satu bahasa, ketimbang Sumpah Palapa. Jika yang pertama bersemangat kebhinneka- tunggalikaan, yang terakhir adalah sentralisme Gajah Mada yang menghegemoni Nusantara. Bahkan menurut Sultan, suatu fenomena “Jawanisasi” ala rezim Orde Baru.

SYAHDAN, sembilan puluh dua tahun kemudian, hari-hari ini, perdebatan Tjipto Mangoenkoesoemo yang “nasionalis” dan Soetatmo Soerjokoesoemo

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News