Poltak

Oleh: Dhimam Abror Djuraid

Poltak
Politikus PDI Perjuangan Ruhut Sitompul. Foto: Ricardo/JPNN.

Jawa menjadi punjer atau episentrum kekuasaan dan peradaban. Jawa bukan sekadar sebutan etnis dan entitas kekuasaan, tetapi juga menjadi konsep peradaban. 

Jawa berarti halus, berbudi, dan maringi (memberi). Orang yang tidak punya sopan santun disebut ‘’tidak jawa’’, anak-anak yang belum akil balig disebut ‘’gak jawa’’ atau tidak jawa. Orang yang pelit disebut ‘’tidak jawa’’.

Kalau Ruhut Sitompul disebut ‘’tidak jawa’’ itu bukan sekadar untuk menggambarkan etnisitas, tetapi sekaligus menggambarkan sikap yang tidak sesuai dengan standar Jawa. Terasa ada unsur diskriminasi dalam penyebutan itu, tetapi itulah yang terjadi sampai sekarang, karena sisa-sisa feodalisme belum sepenuhnya terkikis.

Dalam berkomunikasi orang Jawa punya tata krama dan tata bahasa bertingkat-tingkat. 

Edward T. Hall menyebut tata krama dan tata bahasa Jawa yang penuh unggah-ungguh itu sebagai high context culture, sementara tata krama Batak yang lebih egaliter yang terbuka dikategorikan sebagai low context culture. Orang Jawa bangga dengan sebutan high context culture meskipun hal ini menyiratkan stratifikasi sosial yang tidak egaliter dan tidak demokratis.

Ketika penjajah masuk ke Indonesia feodalisme dikekalkan melalui aturan segregasi sosial. 

Orang-orang Eropa dikategorikan sebagai etnis kelas satu dengan privilege dan perlakuan khusus.

Orang-orang Tionghoa dan orang asing dimasukkan dalam kategori tersendiri pada kelas yang lebih tinggi dibanding orang-orang pribumi. 

Ruhut Sitompul, sering disebut sebagai si Poltak, sudah sangat dikenal sebagai bagian dari kubu yang berseberangan dengan Anies.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News