Prita Sukses, Tiananmen Berdarah

Prita Sukses, Tiananmen Berdarah
Prita Sukses, Tiananmen Berdarah
Fenomena ini tak lepas dari peranan media cetak dan elektronik, bahkan juga internet dan Facebook. Berbagai dukungan terhadap antitese itu sekaligus penolakan terhadap tese-nya, meluas berkat teknologi informasi. Tak perlu harus melalui demonstrasi besar, seperti yang terjadi pada awal Orde Baru, 1966, maupun awal Orde Reformasi 1998 silam. Hasilnya, efektif dan efisien. Tak ada jatuh korban.

Kita ingat perlawanan Angkatan 1966 mengorbankan mahasiswa Arief Rahman Hakim dan wartawan Harian KAMI, Zainal Zakse. Angkatan 1998 mengorbankan jiwa sejumlah mahasiswa, baik dalam Tragedi Trisakti maupun Jembatan Semanggi. Bahkan juga ada huru-hara penjarahan yang mencoreng wajah republik, termasuk mereka yang hangus terpanggang di sebuah pusat perbelanjaan di Jakarta.

Kita lega, aksi 9 Desember, termasuk aksi memperingati Hari Hak Asasi Manusia (HAM) 10 Desember di Jakarta, tidak massif sampai mengerahkan 100.000-an massa. Sebab, saya kira, Yudhoyono benar ketika ia mengkhawatirkan kemungkinan buruk dalam sebuah aksi akbar. Contoh macam itu kerap terjadi di masa lalu.

Tampaknya aksi melalui teknologi informasi menjadi pilihan cerdas. Setidaknya metode ini cocok untuk isu-isu perkotaan, atau pemerintahan secara nasional, karena umumnya kaum urbanis sudah melek teknologi informasi. Cara ini pun lebih kreatif. Orang punya waktu untuk memikirkan aksinya sebelum mengoret-oretnya di internet atau Facebook.

LARILAH. Menghindar saja. Tak berarti kehilangan muka. Lari identik dengan mengalah. Bukan kalah. Inilah sebuah taktik dan strategi ketika berhadapan

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News