Program Kartu Prakerja Berindikasi Konspiratif

Oleh: Anton Doni Dihen

Program Kartu Prakerja Berindikasi Konspiratif
Anton Doni. Foto: Dokpri for JPNN.com

Tentu bias ini juga perlu mendapat perhatian, apalagi dikaitkan dengan fakta bahwa salah seorang staf khusus Presiden (yang sekarang sudah mengundurkan diri) yang berada di sekitaran Istana pada saat Perpres ini ditetapkan memiliki juga platform digital yang ditunjuk untuk kerja sama penyelenggaraan pelatihan daring.

Indikasi ketiga, keberadaan Manajemen Pelaksana dalam kaitan dengan Kompetensi Kebijakan Bidang Ketenagakerjaan. Tidak hanya Komite yang dipertanyakan kompetensi kebijakannya di bidang ketenagakerjaan. Manajemen pelaksana pun harus dicermati kompetensinya di bidang kebijakan ketenagakerjaan.

Manajemen pelaksana ini pun mengambil sejumlah “tupoksi” ketenagakerjaan yang ada dalam struktur Kementerian Tenaga Kerja, seperti akreditasi lembaga pelatihan kerja dan pengakuan kompetensi berbentuk sertifikat pasca pelatihan kerja.

Tentu saja koordinasi pengambilan dan penyelarasan data terkait lembaga pelatihan bisa dilakukan, tetapi rumusan kebijakan yang “menggampangkan” urusan kelembagaan pelatihan, program pelatihan, dan sertifikasi menghadirkan kesan kesemberonoan dan niat untuk segera memobilitasi intensitas lalu lintas di dunia platform digital yang akan memberikan keuntungan kepada para pihak yang berkepentingan.

Kesembronoan seperti ini tentu meniadakan sejumlah pertimbangan strategis yang semestinya menuntun program besar peningkatan kompetensi sumber daya manusia Indonesia.

Indikasi keempat, fakta tantangan besar di satu sisi dan pendekatan yang terlalu instan. Di hadapan kita sebetulnya terbentang tantangan yang teramat besar, dan karena itu langkah yang diambil dalam rangka pengembangan kompetensi sumber daya manusia seharusnya terkelola dengan lebih baik di bawah tuntunan pertimbangan-pertimbangan strategis.

Angkatan kerja kita berjumlah cukup besar, dengan struktur kependidikan angkatan kerja yang sangat menantang. Pengangguran kita juga tidak sedikit, dengan struktur kependidikan yang tidak kurang menantang. Persoalan yang sama dapat kita lihat juga pada struktur angkatan kerja yang bekerja.

Singkat kata, angkatan kerja kita sangat bervariasi dan menantang dalam hal tingkat pendidikan, dan karena itu suatu program nasional pengembangan kompetensi kerja harus dihindari dari kecenderungan menyeragamkan dan menggampangkan. Sebaliknya, program nasional tersebut harus mempertimbangkan dan padu dengan kenyataan yang kompleks ini. Terkait penggunaan medium saja, misalnya, penggunaan medium pelatihan yang bias saja sudah menghadirkan diskriminasi dan menggores rasa keadilan masyarakat.

Kesembronoan seperti ini tentu meniadakan sejumlah pertimbangan strategis yang semestinya menuntun program besar peningkatan kompetensi sumber daya manusia Indonesia.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News