Prosesi Labuhan Merapi Dimulai dari Petilasan Mbah Marijan

Prosesi Labuhan Merapi Dimulai dari Petilasan Mbah Marijan
Puluhan abdi dalem Keraton Ngayogyakarta bersama ratusan warga dan wisatawan saat prosesi puncak labuhan Merapi di Bangsal Manganti, Minggu (7/4). Foto: ELANG KHARISMA DEWANGGA/RADAR JOGJA

Asih memiliki kewenangan penuh untuk membagikan uba rampe tersebut. Pria paro baya itu menegaskan jika dia tidak pilih-pilih dalam memberikan uba rampe tersebut. “Semuanya dibagi secara adil,” tegasnya.

Tak mudah untuk mendapatkan uba rampe labuhan Merapi. Harus mengantre. Bahkan inden atau memesan terlebih dahulu. Sebab, peminatnya sangat banyak. Antrean bisa bertahun-tahun. ”Syaratnya memang harus sabar. Siapa pun yang butuh pasti dikasih asal mau menunggu giliran,” kata Asih.

Tak ada syarat khusus bagi yang menginginkan uba rampe itu. Tiap tahun yang mendapatkan selalu orang baru. Meskipun Asih tidak tahu persis latar belakang orang yang meminta.

“Karena ini tahun politik, saya tidak tahu yang minta itu caleg atau bukan. Ada juga yang berasal dari daerah lain,” ungkapnya.

Menurut Asih, setiap orang punya tujuan berbeda. Ada yang untuk cendera mata. Ada pula yang untuk ”pegangan”. Bahkan, ada yang untuk syarat lelaku tertentu.

”Semua dilihat barangnya (uba rampe). Kalau pas ada saya kasih. Kalau habis, ya, tunggu tahun depan. Untuk tahun ini sudah ada yang meminta dan sepertinya masih ada sisa,” jelasnya.

Merunut cerita sejarah, labuhan Merapi digelar sebagai syarat penepatan janji antara Sultan Hamengku Buwono I (Panembahan Senapati) kepada Eyang Sapu Jagad. Bahwa setiap tahun akan dihelat labuhan Merapi secara turun-temurun.

Dan perjanian itu masih mengikat hingga saat ini. Dengan pergeseran makna sebagai wujud syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Labuhan Merapi dimulai dari petilasan Mbah Marijan, digelar sehari setelah Labuhan Parangkusumo di pantai selatan.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News