PSI Kecam Putusan PN Jaktim yang Memihak Pelaku KDRT

PSI Kecam Putusan PN Jaktim yang Memihak Pelaku KDRT
Ketua KSPPA DPP PSI Karen Pooroe. Foto: dok pribadi for JPNN

Imelda yang saat itu masih dalam proses pemulihan pasca persalinan, menjadi syok dan trauma akibat kehilangan bayi pertamanya hingga harus dirawat di rumah sakit bersama bayi yang baru dia lahirkan. Bahkan Imelda ditutup aksesnya sama sekali untuk menemui anaknya tersebut.

Sejak 2015, Imelda berjuang untuk mendapatkan kembali anaknya itu lewat bantuan Ka Seto, LPAI, LBH Apik dan Komnas Perempuan. Hingga akhirnya, 2 tahun kemudian, dengan desakan putusan pidana KDRT tahun 2017 lalu, anak itu dikembalikan dalam pengasuhannya. Karena jika tidak dikembalikan, maka RTD akan mendapatkan pemberatan hukuman pidana kurungan.

Imelda juga pernah dianiaya oleh AB, kakak RTD, seorang bidan di RS Gading Pluit. Imelda diusir dan dianiaya sehingga tangannya terluka, saat hendak melihat bayinya saat itu.

AB pun telah menjadi terpidana penganiayaan, karena terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana penganiayaan, yang tertuang dalam Putusan PN Jakarta Barat No.442/Pid.B/2018/PN.Jkt.Brt tanggal 26 Juli 2018.

Karen melanjutkan, putusan hakim PN Jakarta Timur pada Kamis 9 September itu juga dinilai bermasalah. Sebab, majelis hakim tidak mempertimbangkan sama sekali status hukum RTD sebagai terpidana kasus KDRT, dan telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana KDRT dan bukti-bukti pendukung kuat lainnya tentang hal-hal yang telah dia perbuat kepada istri dan kedua anak ketika memutuskan memberinya hak asuh anak.

“Harusnya majelis hakim tahu bahwa yang bersangkutan adalah terpidana kasus KDRT yang diputuskan oleh pengadilan yang sama (PN Jakarta Timur), lalu atas dasar pertimbangan apa kemudian hak asuh kedua anak justru diberikan kepada seorang pelaku KDRT? Jelas ini putusan yang bermasalah, bahkan putusan ini berpotensi menambah derita dan membangkitkan kembali trauma mendalam Imelda dan anak2nya yang masih sangat di bawah umur,” imbuhnya.

Sebaliknya, majelis hakim yang diketuai Henry Dunant Manuhua itu, lanjut Karen, harusnya menolak permintaan RTD akan hak asuh anak tersebut, karena tindak pidana KDRT yang telah dilakukannya sudah memenuhi Pasal 49 Undang-Undang Perkawinan No.1 tahun 1974.

“Sangat terang benderang bahwa saudara RTD sudah melanggar UU Perkawinan tahun 1974, dia sudah melalaikan kewajibannya terhadap anaknya dan berkelakuan buruk sekali. Sehingga menurut pasal ini, RTD dapat dicabut hak asuh anaknya. Majelis hakim harusnya menolak permintaan hak asuh anak oleh RTD,” ujar perempuan berdarah Maluku itu.

KSPPA DPP PSI mengecam putusan majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Timur yang memberikan hak asuh anak kepada pelaku KDRT

Sumber Antara

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News