PSI Munculkan Wacana Memikir Ulang Sistem Presidensial Jadi Parlementer

PSI Munculkan Wacana Memikir Ulang Sistem Presidensial Jadi Parlementer
Sekjen DPP Partai Solidaritas Indonesia (PSI) Dea Tunggaesti. Foto: Dok. PSI

jpnn.com, JAKARTA - Partai Solidaritas Indonesia (PSI) mengajak publik memikirkan ulang sistem parlementer. Karena inilah saat yang tepat, setelah lima pemilu berjalan demokratis, untuk bicara tentang cara memperkuat demokrasi dan melahirkan stabilitas kebijakan jangka panjang.

“Inilah saat paling tepat memulai percakapan mengenai kehidupan bernegara kita ke depan, melampaui perdebatan mengenai masa jabatan presiden apakah dua atau tiga periode. Ini saatnya memikirkan ulang sistem presidensial yang kita terapkan sambil mencoba mempelajari kembali sistem parlementer,“ kata Plt Sekjen DPP PSI, Dea Tunggaesti, dalam video yang diunggah di akun media sosial PSI, Minggu (18/4).

Ada sejumlah alasan sistem parlementer patut dipelajari kembali. Pertama, sistem ini relatif bisa melawan ancaman gelombang populisme politik. Sistem presidensial membuka peluang terpilihnya kandidat dengan ideologi ekstrem ke puncak kekuasaan. Membuka ruang lebih luas kepada para demagagog untuk membajak demokrasi dengan menunggangi sentimen ras atau agama agar terpilih menjadi presiden.

“Sistem parlementer relatif mampu menjaga politik di arus mainstream – karena elemen-elemen ekstrem akan difilter ulang dalam proses rekrutmen internal partai maupun melalui proses politik parlemen,“ lanjut Dea.

Alasan kedua, sistem presidensial lebih rentan konflik. Pengalaman dunia memperlihatkan, pemilihan dua kandidat presiden yang berlangsung sengit melahirkan masyarakat yang terbelah, menciptakan ketegangan terus-menerus dan berpotensi menciptakan konflik terbuka. Kalau ingin kehidupan masyarakat kembali normal – agar ketegangan politik tidak termanifes dalam bentuk konflik jalanan, alternatifnya adalah mengembalikan politik ke ruang-ruang perdebatan di gedung parlemen.

“Alasan ketiga adalah mengupayakan agar politik tidak terlalu banyak menyebabkan guncangan ekonomi karena kebijakan yang berganti-ganti setiap lima tahun. Beberapa penelitian memperlihatkan, sistem parlementer – dibanding presidensial – lebih mampu menciptakan stabilitas kebijakan jangka panjang,“ kata doktor Ilmu Hukum dari Unpad ini.

Dea menambahkan, studi memperlihatkan sistem presidensial memiliki sejumlah masalah. Pertama soal adanya persaingan legitimasi antara presiden dengan parlemen, karena keduanya merasa dipilih secara langsung oleh rakyat. Jika terjadi perbedaan pendapat atau konflik tajam di antara keduanya, pemerintahan terancam mengalami kebuntuan.

“Kelemahan lain, jika presiden terpilih mempunyai kecenderungan otoriter, ia akan terus-menerus mencari cara memperluas kekuasan dan menjadikan dirinya diktator. Sistem presidensial juga tidak menyediakan fleksibilitas karena presiden terpilih tidak bisa diganti di tengah jalan meski kinerjanya buruk – kecuali melanggar konstitusi – hingga masa jabatannya berakhir,“ ujar Dea.

Partai Solidaritas Indonesia (PSI) mengajak publik memikirkan ulang sistem parlementer

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News