PSI Munculkan Wacana Memikir Ulang Sistem Presidensial Jadi Parlementer

PSI Munculkan Wacana Memikir Ulang Sistem Presidensial Jadi Parlementer
Sekjen DPP Partai Solidaritas Indonesia (PSI) Dea Tunggaesti. Foto: Dok. PSI

Dalam konteks Indonesia, lanjut Dea, situasi menjadi semakin rumit karena kita menerapkan presidensialisme dengan multipartai. Akibatnya sulit menciptakan kemiripan mayoritas, karena presiden terpilih bisa berasal dari partai yang tidak memenangkan pemilu atau tidak memiliki kursi mayoritas di parlemen.

Skenario politik yang biasanya terjadi adalah kawin paksa antar partai yang berseberangan, baik secara ideologi atau kebijakan, demi melahirkan koalisi mayoritas di parlemen. Semakin besar koalisi semakin butuh biaya politik besar karena semakin banyak hal dikompromikan, dan pada gilirannya menciptakan situasi rentan korupsi.

Dea menyatakan, “Setelah terpilih, sepanjang masa jabatannya, presiden harus terus-menerus bernegosiasi dengan berbagai kekuatan di parlemen, agar kebijakannya mendapat persetujuan. Akibatnya pemerintahan terancam tidak bisa berjalan efektif.“

Parlemen dan partai politik adalah elemen utama demokrasi. Demokrasi yang sehat harus dimulai dari partai politik. Kita tidak bisa terus-menerus mengeluh pada keadaan, ini saatnya memaksa partai politik untuk berubah.

“Demokrasi menyediakan kesempatan kepada warga untuk menghukum partai yang tidak amanah dengan cara tidak memilihnya kembali – bahkan setiap warga punya hak untuk berkampanye mengajak orang agar tidak memilih partai bersangkutan pada pemilu berikutnya. Inilah kekuatan utama demokrasi, kedaulatan ada di tangan rakyat,“ kata staf pengajar Fakultas Hukum Universitas Pancasila ini.

Sistem parlementer akan memaksa partai politik untuk melakukan demokratisasi internal dan mencari calon anggota parlemen terbaik agar bisa mengalahkan calon partai lain. Hubungan antara pemilih dengan anggota parlemen terpilih juga akan semakin dekat, yang ujungnya memaksa anggota parlemen selalu mendengar suara konstituen jika ingin kembali terpilih.

Indonesia memang pernah gagal ketika melaksanakan sistem demokrasi parlementer pada era 1950-an. Tapi masalah terbesar adalah Indonesia melaksanakan sebuah sistem pada saat berbagai syarat dasar bagi terlaksananya sebuah demokrasi belum tersedia.

“Pada masa awal pembentukan republik, partai politik dengan beragam warna ideologi yang saling antagonistis bersaing ketat. Situasi ini menyebabkan pertentangan tajam di antara partai politik di parlemen. Pada sisi lain, presiden Soekarno sendiri memiliki konsepsi berbeda tentang kepresidenan dengan idenya mengenai Demokrasi Terpimpin,“ kata Dea.

Partai Solidaritas Indonesia (PSI) mengajak publik memikirkan ulang sistem parlementer

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News