Puasa Lokal

Oleh: Dahlan Iskan

Puasa Lokal
Dahlan Iskan (Disway). Foto: Ricardo/JPNN.com

Secara mata, terbit 2 derajat belum bisa dilihat. Namun secara ilmiah, meski baru 2 derajat bulan sudah terbit.

Baca Juga:

Perbedaannya tinggal mana yang dipegang: sudah terbit atau sudah bisa dilihat.

Saya ikut orang yang lebih pintar dari saya saja –apalagi kalau yang lebih pintar itu memulai puasanya belakangan.

Namun, sebenarnya saya punya pendapat sendiri: perlunya otonomi daerah dalam menentukan dimulainya puasa. Puasa ditentukan secara lokalitas.

Demikian juga Lebaran. Jatuh pada tanggal berapanya ditentukan tidak secara nasional.

Kita sudah biasa menerima perbedaan berdasar lokalitas itu: waktu azan Magrib di Surabaya berbeda dengan di Jakarta. Apalagi di Makassar, Ambon, dan Jayapura. Atau di Palembang, Padang, Medan, dan Aceh. Demikian pula azan subuh dan waktu salat lainnya.

Kita tidak pernah heboh kenapa azan Magrib di Makassar berbeda dengan di Jakarta. Mungkin kita justru heboh kalau waktu azannya disamakan.

Sudah merupakan kenyataan bahwa wilayah Indonesia ini memanjang ke timur. Saya membuka Google kemarin. Azan Magrib di Jayapura pukul 15.43 WIB. Azan Magrib di Sabang pukul 18.48. Selisihnya 3 jam lebih.

Maka sudah saatnya dimulainya puasa pun diatur seperti azan Magrib. Beda kota beda mulai puasanya. Kian ke barat kian awal hari puasanya.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News