Purbo Asmoro

Oleh Dahlan Iskan

Purbo Asmoro
Dahlan Iskan. Foto: Ricardo/JPNN.com

"Mengapa terjadi pandemi. Kapan pandemi berakhir". Pertanyaan itu mengusik batinnya.

Maka kesenimanan Ki Purbo muncul. Ia ingin mendalang. Di rumahnya. Sendirian. Tanpa gamelan. Tanpa sinden. Tanpa siapa-siapa.

Betapa sepinya.
Betapa sunyinya.
Betapa mengiris-iris hatinya.

Malam itu Ki Purbo tetap mengenakan pakaian dalang. Lengkap dengan blangkon dan kerisnya. Resmi sekali. Seperti layaknya akan pentas besar.

Bahkan ia juga membawa sesajen. Dengan tokoh wayang Betari Durga yang dibungkus kain putih.

Ia sadar adegan sesaji itu bisa dikecam kalangan agamawan garis jingga. Maka ia jelaskan: sesajen itu bukan untuk dipersembahkan kepada setan. "Setan tidak makan buah-buahan," katanya.

Sesajen itu ia maksudkan sebagai rasa syukur. Bahwa di tengah pandemi ia masih hidup. Masih segar. Masih bisa mendalang. Meski harus sendirian.

Mendalang itu harus mengerjakan banyak tugas: tangannya, kakinya, mulutnya dan bibirnya.

Ki Purbo sadar adegan sesaji itu bisa dikecam kalangan agamawan garis jingga. Maka ia jelaskan: sesajen itu bukan untuk dipersembahkan kepada setan.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News