Pusat Perbelanjaan Tutup, Jutaan Warga Filipina Terpaksa Pakai Sistem Barter untuk Memenuhi Kebutuhan Hidup

Pusat Perbelanjaan Tutup, Jutaan Warga Filipina Terpaksa Pakai Sistem Barter untuk Memenuhi Kebutuhan Hidup
Ilustrasi pusat perbelanjaan. Foto: Mesya Mohammad/JPNN.com

Barter sendiri memiliki sejarah panjang di Filipina. Negara kepulauan dengan lebih dari 7.600 pulau, menyebabkan distribusi barang tepat waktu terkendala transportasi pada masa lalu.

Kini, Filipina menjadi negara dengan ketergantungan yang tinggi terhadap internet. Berdasarkan data Hootsuite dan We Are Social, penduduk Filipina rata-rata menghabiskan waktu hingga 10 jam di depan internet, sedangkan rata-rata global maksimal enam jam.

Browsing di sosial media mencapai hampir empat jam di setiap harinya, hasil tertinggi dibandingkan rata-rata global mencapai 2,5 jam.

Kata kunci 'barter trade' di Google pun mengalami peningkatkan 203 persen antar April dan Mei. Ini mengikuti lockdown terbatas yang ada di Manila dan sejumlah wilayah sekitar.

Ribuan unggahan muncul di Facebook setiap harinya, menukarkan buku, baju, gawai, dengan berbagai kebutuhan sehari-hari hingga binatang.

Sementara, pemerintah setempat menyebut praktik ini sebagai ilegal dan bagian dari pengemplangan pajak. Sekretaris Perdagangan Ramon Lopez menyatakan akan memberikan denda untuk praktik barter, pada Juli lalu.

Sikap ini menimbulkan berbagai kritik di media sosial dan menyebut jika pemerintah berupaya mencari pajak bahkan di tengah kondisi pandemi.

Filipina sendiri kini memasuki resesi pertama sejak tiga dekade terakhir, dengan pengangguran meningkat mencapai 17,7 persen akibat pandemi. Barter bisa jadi akan berlangsung lebih panjang dibanding yang diharapkan pemerintah. (rtr/ngopibareng/jpnn)

Ada seorang ibu yang rela barter tas mahalnya dengan makanan dan susu untuk bayinya karena tak bisa berbelanja di pusat perbelanjaan saat lockdown.


Redaktur & Reporter : Natalia

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News