Revisi PP 109/2012 Diyakini Tidak Efektif Menurunkan Konsumsi Perokok

Revisi PP 109/2012 Diyakini Tidak Efektif Menurunkan Konsumsi Perokok
Ilustrasi asap rokok (Pexels)

“Dengan banyaknya pedagang rokok tradisional berlokasi di lingkungan pemukiman dan seiring dengan tujuan menekan akses anak di bawah umur kepada rokok, Pemerintah perlu melakukan suatu upaya untuk meningkatkan pengetahuan pedagang terkait regulasi penjualan rokok kepada anak, apa yang melatarbelakangi regulasi tersebut, serta menerapkan sanksi kepada para pedagang yang tetap melakukannya, kata Soeprapto Tan, Managing Director IPSOS di Indonesia.

Menyikapi hal ini, Soeprapto juga mendapati fakta dari para pedagang bahwa untuk menjadikan Peraturan ini lebih efektif diperlukan kegiatan edukasi oleh Pemerintah sebagai regulator maupun pelaku industri rokok.

Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular pada Kementerian Kesehatan, Cut Putri Arianie, menyebut bahwa sosialisasi dan penegakan hukum terkait PP 109/2012 seharusnya menempatkan pemerintah daerah sebagai ujung tombak. Hal itu konseksuensi dari otonomi daerah. Kemenkes fokus pada penanganan dampak rokok atau di hulu. Sementara penegakan hukum ada di hilir.

Gabungan Produsen Rokok Putih Indonesia (GAPRINDO) ikut memberikan tanggapannya terkait rencana revisi PP 109/2012. Menurut Ketua GAPRINDO, Benny Wachjudi, pihaknya setuju dan mendukung target Pemerintah untuk menurunkan angka prevalensi merokok anak. Meski begitu, revisi Peraturan dinilai bukalah sebuah jalan keluar yang tepat.

“Pada dasarnya PP 109/2012 sudah sangat memadai dan tidak perlu direvisi. Kalaupun ada yang kurang, kami menilai bukan pada aturannya sendiri, melainkan lebih kepada implementasinya, khususnya sosialisasi dan edukasi masyarakat serta penegakan peraturannya. Dapat kami tambahkan bahwa PP 109/2012 juga sudah sudah secara tegas melarang penjualan rokok kepada anak dibawah 18 tahun dan ibu hamil, kata Benny.

“Sehubungan dengan usulan revisi terkait memperbesar ukuran gambar Kesehatan dari 40% menjadi 90%, kami berpandangan justru rencana ini berpotensi menimbulkan hal yang tidak terduga seperti meningkatknya rokok ilegal yang akan berdampak pada turunnya pendapatan negara dari pajak dan cukai. Selain itu, penambahan luas gambar peringatan kesehatan menjadi 90%, dipastikan melanggar hak pelaku usaha untuk menampilkan merek dagang dan logo perusahaan yang dilindungi undang-undang,” tambahnya.

Benny turut menyampaikan bahwa studi yang dilakukan di negara-negara lain mengungkap bahwa perluasan peringatan kesehatan terbukti tidak dapat menurunkan prevalensi perokok anak secara efektif. Perluasan peringatan di kemasan malah membuka peluang pemalsuan. Sebab, merek dan identitas produk tidak terlihat jelas.

Direktur Industri Minuman, Hasil Tembakau dan Bahan Penyegar, Kementerian Perindustrian, Edy Sutopo mengatakan, PP 109/2012 sebenarnya sudah lebih ketat jika dibandingkan dengan Framework Convention for Tobbaco Control (FCTC). Padahal, FTFC merupakan acuan internasional pengendalian Industri Hasil Tembakau (IHT) internasional.

Pemerintah Republik Indonesia tengah didorong untuk menunjukan keseriusannya dalam menurunkan prevalensi perokok anak

Sumber Antara

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News