Rolling Stones

Dhimam Abror Djuraid

Rolling Stones
Ali Mochtar Ngabalin. Foto: M Fathra Nazrul Islam/dok.JPNN

Ketika sebuah karya--dalam bentuk lukisan, musik, puisi, narasi, pidato, dan lain-lain--sudah menyebar ke publik, maka sang author sudah tidak mempunyai kendali atas tafsir karyanya.

Begitu pula dengan beberapa mural itu. Publik bebas menginterpretasikannya sesuai dengan frame of reference, kemampuan referensinya.

Kalau seseorang menganggap pria bermata tertutup itu sebagai Jokowi, maka interpretasinya sah, karena referensinya mengatakan bahwa seseorang dengan bentuk kepala, rambut, hidung, dan dagu seperti dalam mural itu adalah Jokowi.

Kalau seseorang menganggap pria beserban itu adalah Ngabalin, maka tafsirnya itu juga sah, karena referensinya mengatakan bahwa orang yang biasa memakai serban adalah Ngabalin.

Sebaliknya, kalau orang menafsirkan bahwa pria pada mural ‘’Not Found’’ itu bukan Jokowi maka tafsirnya itu juga sah. Juga ketika seseorang menafsirkan bahwa pria beserban itu bukan Ngabalin, maka tafsir itu juga sah.

Past experience, atau pengalaman pribadi, juga akan memengaruhi tafsir seseorang terhadap mural itu. Mungkin saja pria pada mural ‘’Not Found’’ itu dianggapnya sebagai kepala desa, atau camat, atau lainnya.

Mungkin saja pria beserban itu dianggap sebagai ustaz di kampungnya, semua sah saja.

Semua tafsir itu sah, tidak ada yang salah dan tidak ada yang benar, karena pembuat mural sebagai sang author sudah mati. Ketika dia melepas karyanya ke publik terjadilah apa yang oleh Roland Barthes disebut sebagai ‘’the death of the author’’, matinya sang pengarang.

Untuk mengapresiasi kebaikan Ngabalin, sebaiknya gelar Raja Penjilat dibuat lebih keren, The King of Rolling Stones.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News