Rumah Pak RW jadi Satu-satunya Sekolah di Atas Bukit Enut

Rumah Pak RW jadi Satu-satunya Sekolah di Atas Bukit Enut
Anak-anak menumpang menuntut ilmu di rumah Ketua RW, satu-satunya sekolag di atas Bu­kit Enut Cigudeg. Foto: metropolitan

Dia menjelaskan, sejak longsor terjadi, kampungnya juga dire­lokasi ke Kampung Kembang­wangi, RT 02/11. Di sana, pe­merintah telah menyediakan rumah subsidi gratis bagi warga Kampung Panggeleseran.

Namun, menurut Dedi, masih ada sebagian warga yang memi­lih menetap di Kampung Pang­geleseran. “Makanya sekolah ini juga dibuat dua. Ada yang di Panggeleseran sama di Kembang­wangi,” ucapnya.

Kampung Panggeleseran lokasinya berada di atas Bukit Enut. Dari Jalan Raya Cigudeg, butuh waktu sekitar satu jam 30 menit untuk sampai ke rumah Pak RW yang jadi tem­pat siswa MI Mathaul Anwar sekolah.

Siapa pun yang hendak ke kam­pung ini harus menembus ham­paran kebun sawit. Sebagian jalan di sana juga rusak akibat dilintasi truk tambang. Begitu melewati jalan tanjakan dan membelah bukit, barulah terlihat permukiman warga Kam­pung Panggeleseran. Perkampungan itu tampak sepi.

Menurut Dedi, sebagian warga di sana telah pindah ke Kampung Kembangkuning. Se­bab, tanah di sana tak aman dijadikan tempat tinggal. “Beberapa warga di sini sudah direlokasi ke Kembangwangi. Tapi masih ada 20-an rumah yang tetap di sini. Pemiliknya tidak mau pindah,” beber Dedi.

Akibat adanya relokasi itu, lanjut Dedi, ia juga membagi ruang belajar siswa di dua titik, yakni di Kampung Panggeleseran dan Kampung Kembangwangi. “Kalau di sini rumah saya yang dipakai. Di Kembangwangi ada tiga rumah warga yang dipakai,” tuturnya.

Kepala MI Panggeleseran Tatu Uyaenah mengatakan, kondisi seperti ini sudah berlangsung lama. Setiap siswa belajar dalam kondisi apa adanya. “Ya mau gimana lagi. Kami hanya bisa pasrah dengan kondisi seperti ini. Anak-anak harus belajar di rumah-rumah warga karena ketiadaan kelas seperti sekolah umumnya,” kata Tatu kepada wartawan, kemarin.

Disinggung terkait upaya pengajuan bantuan, sambung Tatu, pihaknya sudah mengaju­kan ke berbagai pihak, dari Kemenag, ormas Islam, Pemkab Bogor dan wakil rakyat. Namun hingga kini tak ada satu pun yang berhasil. “Kalau buat proposal bantuan sudah banyak, hampir ke semua pihak. Namun ya mungkin belum ada yang terketuk untuk mem­bantu,” imbuhnya.

Siapa pun yang hendak ke kam­pung itu harus menembus ham­paran kebun sawit. Setelah melewati jalan tanjakan dan membelah bukit, barulah terlihat permukiman.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News