Run...!!!

Run...!!!
Ilustrasi rempah-rempah. Foto: Public Domain.

Tak kehabisan akal, Jacob melobi para syahbandar dan salah satu kelompok terpandang.

“Jacob menjanjikan hadiah dan membagi keuntungan,” tulis Williard A. Hanna dalam buku Kepulauan Banda--Kolonialisme dan Akibatnya di Kepulauan Pala.

Deal…! Setelah beberapa bulan di Banda, pada 1600 Jacob dan rombongannya pulang ke Belanda. Sebuah kabar baik dilaporkan ke kampung halaman. Sampai di sini misi Jacob berhasil.

Apa boleh buat. Kapal dagang Belanda berikutnya belum kembali ke Banda, ketika kapal dagang para saudagar Inggris dengan bendera East India Company (EIC) berlabuh di Pulau Run dan Pulai Ai, pada 1601.

Jarak dua pulau tersebut dengan Banda Neira terbilang dekat. Boleh dibilang satu gugusan kepulauan. Hanya dibatasi oleh Gunung Api.

“Itu Pulau Ai. Dan yang itu Pulau Run,” kata Tante Tanya, anak Des Alwi, saat motorboat kami baru saja meluncur dari Hotel Maulana, samping Pelabuhan Banda Neira.  

Sesampai di Pulau Run, kongsi dagang Inggris berani membeli rempah-rempah dengan harga yang lebih mahal daripada yang pernah ditawarkan pedagang Belanda.

Maka wajar bila penduduk setempat lebih memilih berdagang dengan saudagar East India Company (EIC) Inggris ketimbang Belanda.

Mengenang kejayaan zaman rempah, Kemenko Maritim menggelar Seminar Internasional bertajuk “350th Anniversary of The Treaty of Breda (1667-2017)

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News