Saat Reses, Andi Akmal DPR Bertemu Petani Tebu Libureng Kabupaten Bone

Saat Reses, Andi Akmal DPR Bertemu Petani Tebu Libureng Kabupaten Bone
Anggota DPR RI asal Sulawesi Selatan II, Andi Akmal Pasluddin bertemu petani tebu di kecamatan Libureng, Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan, 28 Oktober 2020. Foto: Humas DPR RI

jpnn.com, BONE - Memenuhi kegiatan positif di masa reses, Anggota DPR RI asal Sulawesi Selatan II, Andi Akmal Pasluddin bertemu petani tebu di kecamatan Libureng, Kabupaten Bone, 28 Oktober 2020.

Bertepatan dengan hari sumpah pemuda ini, Akmal meyakinkan kepada para petani tebu, bahwa sosok pahlawan saat ini bukan saja untuk menjaga negara dari ancaman dan rongrongan negara luar. Akan tetapi yang mampu menyelamatkan pangan nasional kita juga merupakan bagian dari memerdekakan negara kita atas ketergantungan produk-produk luar dalam kategori pangan.

Politikus PKS ini mengatakan, bangsa ini memiliki posisi strategis pada peta dunia sekaligus menjadi keplauan terbesar di dunia. Indonesia memiliki garis pantai sepanjang 95.181 km, dengan luas perairan laut mencapai 5,8 juta kilometer persegi, yang merupakan 71% dari keseluruhan wilayah Indonesia.

“Negara kita ini banyak di huni para petani dan nelayan. Ini sangat wajar karena garis pantai kita terpanjang nomor dua di dunia setelah Kanada. Tanah Negara ini, terbentang sepanjang garis katulistiwa di mana buminya terpapar matahari penuh sepanjang tahun yang menjadikan tanahnya subur sehingga surga bagi petani. Jadi kesempatan menjadi pahlawan pangan di negeri ini sangat terbuka untuk berkarya baik memenuhi kebutuhan dalam negeri maupun luar negeri,” urai Akmal dengan detail.

Untuk itu, lanjutnya, Pemuda yang hadir pada kesempatan ini, mesti menjadi teladan bagi pemuda lain yang masih enggan untuk bertani, dan atau menjadi nelayan profesional, dengan menunjukkan keberhasilan-keberhasilan yang signifikan.

Akmal menjelaskan, kendala yang dihadapi oleh para petani tebu di berbagai daerah bukan saja di Bone adalah pabrik-pabrik yang akan menampung hasil panen merupakan pabrik-pabrik peninggalan zaman kolonial Belanda.

Menurutnya, hal ini menjadi kendala karena hasil yang di terima oleh petani menjadi sangat tergantung pada pengukuran rendemen tebu yang akan di olah menjadi gula. Jikalau pabrik gulanya sudah kedaluarsa, maka rendemen menjadi sangat kecil.

“Rerata rendemen terbaik yang diberikan hanya sekitar 8%. Bahkan ada yang hanya 6%. Kasihan para petani jika begini," tutur Akmal lagi.

Kendala yang dihadapi oleh para petani tebu di berbagai daerah bukan saja di Bone adalah pabrik-pabrik yang akan menampung hasil panen merupakan pabrik-pabrik peninggalan zaman kolonial Belanda.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News