Sadaring Satupena 6: Kebiasaan Lokal Jadi Tantangan Pegiat Literasi

Sadaring Satupena 6: Kebiasaan Lokal Jadi Tantangan Pegiat Literasi
Suasana Sadaring #6 Satupena bertajuk “Suara-Suara dari Lumbung Literasi” pada Minggu (31/10/2021) yang dilakukan secara virtual. Foto: Tangkapan layar

Kebiasaan seperti menikah dini, tidak percaya pada kemampuan medis, dan urbanisasi menyebabkan desa terlalu pelan dalam mengejar ketertinggalan dalam berbagai bidang.

“Kalau sudah lepas ngaji misalnya sudah dianggap pantas untuk menikah,” kata Iffah.

Bahkan, tambahnya, beberapa orangtua telah menjodohkan anak-anak mereka sejak dalam kandungan.

Kalau sudah demikian, praktis anak-anak remaja putus sekolah paling tinggi SMA. Kalau “selamat” dari jebakan menikah dini, biasanya para remajanya pergi ke kota dan menjadi penjaga toko sembako.

“Pengusaha sembakonya orang-orang Madura yang sukses di Jakarta. Jadi, desa kehilangan generasi produktifnya,” ujar Iffah.

Selain mendirikan perpustakaan di masing-masing rumah para anggota Komunitas Perempuan Membaca, secara pribadi Iffah bersama suaminya menginisiasi pembuatan batik ikat celup.

“Intinya memberikan peluang kepada warga desa untuk berperan mengembangkan kerajinan. Ini bisa menahan mereka untuk urbanisasi,” katanya.

Bahkan, dalam cita-citanya Iffah ingin mendirikan Ma'hat Aly, lembaga pendidikan setingkat sarjana di lingkup pesantren untuk menjaring anak-anak di desanya.

Kebiasaan-kebiasaan lokal yang telah berakar pada masyarakat menjadi tantangan yang tak mudah diretas oleh para pegiat literasi.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News