Satria Kanjuruhan

Oleh: Dahlan Iskan

Satria Kanjuruhan
Dahlan Iskan (Disway). Foto: Ricardo/JPNN.com

Nak, napasmu terengah-engah bukan karena soal matematika,
Namun di tengah permainan yang biasanya kau habiskan di sore hari bersama teman sebaya.

Betapa pengap menghirup asap yang seketika melenyapkan mimpi-mimpimu,
Membunuh dan menginjakmu bahkan sebelum kau bilang setuju.

Ibu akan membenci siaran televisi,
Dan Piala Dunia yang bersama Bapakmu dulu selalu kau nanti-nanti.
Atau suara sirine yang menggaung,
Mengantar kepulanganmu, memaksa ibu untuk berkabung.

Nak, kenapa tak kau kenakan saja sepatu itu,
Yang sudah ibu cuci untuk mengantarmu menjemput tim kebanggaanmu,
Dan untuknya kau rela korbankan nyawa,
Dibunuh sendiri oleh mimpimu yang menyala.

Ibu tinggalkan talinya di beranda yang selalu terbuka,
Kapan pun kau ingin kembali ke rumah dan pelukan ibu yang sederhana.
Nak, ibu tinggalkan nasi bersama lauknya di atas meja,
Pulanglah dan santap habis setelah kau lelah berlaga.

Pulanglah, di rumah ada cinta,
Siap menampung berapa pun banyak kau meneteskan –air mata.

***

"Saya tergerak menulis puisi ketika melihat Aremania cilik meninggal di pangkuan ibunya yang menangis," ujar Lintang B. Prameswari.

Peradi menyimpulkan bahwa tTagedi Kanjuruhan adalah pelanggaran HAM berat. Ini serius sekali. Komnas HAM harus turun tangan.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News