Semangat Martha Christina Tiahahu dan Kolonialisme Modern

Oleh: Dipl.-Oek. Engelina Pattiasina, Direktur Archipelago Solidarity Foundation

Semangat Martha Christina Tiahahu dan Kolonialisme Modern
Direktur Archipelago Solidarity Foundation Dipl.-Oek. Engelina Pattiasina. Foto: dok.pribadi for JPNN.com

Namun, perlawanan Martha Christina Tiahahu tidak sebanding dengan kekuatan dan senjata pasukan Belanda. Ullath dan Ouw juga jatuh ke tangan Belanda. Satu per satu pimpinan perlawanan ditangkap Belanda, termasuk Raja Abubu Kapitan Paulus Tiahahu yang harus menjalani hukum tembak mati.

Kehilangan ayahnya, Martha Christina menjadi pribadi yang hampa. Apalagi, Thomas Matulessy dan kawan-kawan dieksekusi pada 16 Desember 1817.

Di akhir Desember 1817, Kapal Evertsen mengangkut tahanan yang ditangkap untuk dibuang ke Jawa.

Di kapal ini, Martha Christina juga merupakan salah satu tahanan yang hendak di bawa ke Jawa. Tetapi, Martha Christina melakukan perlawanan dalam diam, karena tidak mau makan dan minum obat yang diberikan kepadanya.

Kapal Evertsen belum meninggalkan Laut Maluku pada 2 Januari 1818, ketika Martha Christina Tiahahu menghembuskan nafas terakhir. Jenazahanya dimasukkan ke laut dengan penuh penghormatan.

Di masa Indonesia merdeka, Martha Christina Tiahahu telah ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional pada tahun 1969.

Semestinya, Martha Christina memiliki tempat sendiri dalam sejarah Indonesia. Martha Christina bertindak melampaui zamannya.

Martha Christina telah mempertaruhkan jiwa dan raga dalam usia muda sebagai pemimpin pertempuran. Semangat perlawanan ini tumbuh dari semangat melawan kolonialisme dan penindasan terhadap rakyat.

Engelina Pattiasina, Direktur Archipelago Solidarity Foundation, mengulas perjuangan Martha Christina Tiahahu dan kaitannya dengan Blok Masela.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News