Setengah Lebaran

Oleh: Dahlan Iskan

Setengah Lebaran
Dahlan Iskan (Disway). Foto: Ricardo/JPNN.com

Di kunyahan ke-35 sudah separo potongan tahu masuk ke kerongkongan. Mengalir sendiri begitu saja. Mungkin saking lembutnya.

Lalu saya makan daging lada hitam. Potongan dagingnya saya pilih yang paling besar. Sampai kunyahan ke-40 masih terasa. Di kunyahan ke 45 sebagian sudah tertelan sendiri. Maka sampai di kunyahan ke-50 tinggal sisa-sisanya.

Akan tetapi, itu juga berarti dagingnya memang empuk. Maknyus. Bayangkan kalau itu kikil yang masih banyak terikut tulang mudanya. Pasti beda.

Rasanya, doktrin komentator "harus 50 kali" itu tidak harus. Tergantung apa yang dimakan. Juga seberapa banyak volume makanan yang masuk mulut. Mungkin doktrin 50 kali itu khusus untuk makanan yang sulit dicerna.

Saya mencoba lagi ketika buka puasa di Changsha, ibu kota provinsi Hunan. Tempat kelahiran Mao Zedong, pendiri partai komunis Tiongkok.

Saya makan nasi. Pakai sumpit. Dalam kunyahan ke-30 semua nasi sudah hilang dari mulut. Secara otomatis.

Itu karena nasinya tidak banyak. Saya belum ahli makan nasi pakai sumpit. Beda dengan makan nasi pakai tangan sendiri, apalagi waktu muda dulu. Satu pulukan saja bisa sampai membuat pipi tembem.

Waktu itu semangat memuluknya disertai rasa takut: nasinya keburu dihabiskan kakak-adik.

DI HARI setengah Lebaran ini saya ingin mengungkapkan gejolak perasaan saya: sebenarnya saya sering ingin menanggapi langsung komentar di disway.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News