Soal Daging yang Ibarat Dokter Salah Resep

Soal Daging yang Ibarat Dokter Salah Resep
Soal Daging yang Ibarat Dokter Salah Resep

Tapi, sudah lama NTT tidak lagi jadi andalan pasokan sapi. Semua tahu itu. Panjang sekali rapat untuk membahas itu. Kesimpulannya ya yang sangat ilmiah tadi: Tidak ada kapal khusus pengangkut ternak. Maka, tol laut dan penyediaan kapal akan menjadi solusi.

Ternyata semua itu salah.

Atau benar tapi salah.

"Ini" baru saya ketahui bulan lalu. Saat saya untuk kali kelima ke Sumba. Bisa mengetahui "ini"-nya pun kebetulan. Kebetulan ada relawan yang mau jadi sopir saya: Victor Rebo Lewa, seorang insinyur mesin lulusan ITN Malang. Saya memang sudah jenuh mengemudi berjam-jam. Sejak dari Tambolaka di ujung barat daya Sumba ke Waingapu di timur pulau itu. Besoknya ganti Victor Lewa yang jadi sopir. Juga berjam-jam. Menjelajah berbagai daerah di Sumba. Termasuk melewati padang-padang sabana yang luas.

"Sopir" ini sungguh asyik. Kakeknya yang kelahiran Rote termasuk orang paling kaya di Sumba. Termasuk raja sapi. Sang kakek menginginkan anak laki-lakinya kawin dengan gadis tercantik di desanya. Juga anak tokoh paling berpengaruh saat itu. Maka, disediakanlah maskawin yang sepadan: 200 ekor sapi. Perkawinan itulah yang melahirkan Victor.

Di Sumba, saat itu, sapi adalah lambang kekayaan, status sosial, dan taruhan masa depan generasi penerus. "Saya bisa jadi insinyur karena sapi," ujar Victor. "Di sini orang memelihara sapi sebagai tabungan untuk menyekolahkan anak ke universitas," tambahnya.

Semua itu sudah berakhir. "Lihat, Pak," katanya sambil menunjuk sabana luas yang berbukit hijau. "Tuh, di sana hanya ada satu ekor sapi," katanya. Mata saya pun mengarah ke seekor sapi di kejauhan itu. Tapi, hati saya berdebar. Takut dia lengah mengemudikan mobil di jalan yang berliku-liku itu. "Waktu saya remaja, sabana ini penuh sapi," kata Victor. "Juga kuda. Kuda Sumba. Kuda sandelwood,” tambahnya.

Apakah karena tidak ada kapal khusus ternak?
"Ha ha ha," dia tertawa.
Victor ternyata juga mengikuti perdebatan ilmiah di Jakarta yang membahas merosotnya ternak di NTT.
"Apa yang lucu?" tanya saya.
"Penyebabnya bukan itu," ujar Victor. "Ini," tambahnya.

"INI" tidak pernah dibahas di pusat pengambilan kebijakan. Saat saya menjadi menteri pun tidak pernah memikirkan yang "ini".

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News