Soal Daging yang Ibarat Dokter Salah Resep

Soal Daging yang Ibarat Dokter Salah Resep
Soal Daging yang Ibarat Dokter Salah Resep

Lalu, dia menciptakan suasana tegang. "Sudah lama orang Sumba takut memelihara sapi," katanya. "Pencurian sapi di sini sudah masif, sistematis, dan terstruktur," tambahnya.

Dia pun terdiam. Agak lama. Seperti tidak tahu harus memulai ceritanya dari mana. Saking ruwetnya. "Ambulans pun sudah mulai dipakai angkut daging sapi curian," tutur dia.

Yang terlibat sangat luas. Rakyat tidak percaya lagi ada yang bisa mengatasinya. Tidak bupati. Tidak pula polisi. Sudah banyak yang ditangkap. Tapi mencuri lagi. Sudah pernah diadakan sumpah adat, tapi selalu terjadi lagi. "Yang masih berani memelihara sapi pun hidupnya tidak tenang," kata Victor.

"Mereka tidak bisa tidur nyenyak. Selalu waswas, takut pencuri datang," tambahnya. "Ibaratnya, dari 10 orang Sumba, 11 orang yang takut pelihara sapi," guraunya.

Bahkan, pencurian itu kini sudah meningkat ke pemerasan. Si pencuri sudah berani menghubungi pemilik. Minta tebusan Rp 2 juta. Agar sapinya dikembalikan. Pun sudah menjalar ke generasi muda. Dengan berbagai motif. Misalnya mau cepat dapat uang jutaan. Dengan cara mudah.

Atau setengah balas dendam: Dulu sapi orang tuanya dicuri orang. "Ketakutan memelihara sapi ikut mengubur harapan pemuda untuk kuliah di luar daerah," ujar Victor.

Dulu, prinsip hidup orang di Sumba adalah ini: Hasil pertanian untuk mencukupi makan, ternak sapi untuk tabungan biaya anak kuliah. Kini banyak anak muda tidak lagi bisa kuliah. Menganggur. Naik kuda pun sudah tidak bisa. Potensi besar untuk jadi pencuri generasi baru. "Kalau ada pacuan kuda, kami sudah harus datangkan joki dari Bima," tambahnya.

Pagi itu, saya mampir ke Desa Lewa Paku. Lebih dari 10 orang ikut meriung di halaman rumah Pak Yusuf Bili Popo. Semua berebut ingin menceritakan keganasan pencurian sapi di Sumba. Ibu Rambu Kris, yang masih berani memelihara sapi bantuan pemerintah, sampai berdiri dari duduknya. "Minggu lalu, sapi bantuan itu dicuri. Dua lagi," kata Ibu Rambu dari Desa Laihau, Kecamatan Letis, itu.

"INI" tidak pernah dibahas di pusat pengambilan kebijakan. Saat saya menjadi menteri pun tidak pernah memikirkan yang "ini".

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News