SOS Children’s Villages Indonesia, Wadah Memandirikan Anak-Anak Telantar

Diasuh dalam Satu Rumah seperti Anak-Anak Sendiri

SOS Children’s Villages Indonesia, Wadah Memandirikan Anak-Anak Telantar
Anak-anak SOS Children’s Villages yang tinggal di Cibubur, Jakarta Timur, bebas bermain dan belajar seperti di rumah sendiri. Foto: SOS CHILDREN’S VILLAGES FOR JAWA POS

Tidak sedikit anak yang menjadi yatim piatu di usia yang masih belia. Mereka harus mencari penghidupan sendiri dengan menjadi pengemis atau gelandangan. Mereka juga tidak bisa bersekolah lagi.

Melihat itu, hati Gmeiner tergerak. Mahasiswa kedokteran tersebut lalu mendirikan SOS Children’s Villages di Kota Imst, Austria. Di kota itu Gmeiner mendirikan desa-desa buatan. Desa tersebut berisi 12–15 rumah yang masing-masing dihuni 8–10 anak korban perang. Nah, sebagai kepala rumah tangga, Gmeiner merekrut seorang perempuan yang bertindak sebagai ibu yang mengurus semua kebutuhan anak-anaknya.

Penampungan anak-anak model SOS Children’s Villages itu berkembang hingga ke seluruh dunia, termasuk di Indonesia pada 1962. Menurut Direktur SOS Children’s Villages Indonesia Gregor Hadi Nitihardjo, di Indonesia ada sepuluh village atau desa yang tersebar di berbagai kota. Yakni di Medan, Banda Aceh, Meulaboh, Flores, dan Tabanan.

Sedangkan di Jawa terdapat di Semarang, Bandung, Lembang, Kalibata Tengah (Jakarta), dan Cibubur (Jakarta). ”Semuanya masih berjalan dengan baik,” ujar Hadi, Senin (4/5).

Konsep penampungan anak yang dikembangkan SOS, kata Hadi, berbeda dengan panti asuhan. SOS membangun rumah-rumah di lahan seluas 4 hektare untuk menampung anak-anak yang kurang terurus keluarganya itu. Jumlahnya 12–15 rumah. Di setiap rumah terdapat seorang ibu asuh –yang bekerja 24 jam– yang mengurus 8–10 anak.

Fasilitas di dalam rumah itu berupa lima kamar tidur, ruang keluarga, dapur, dan kamar mandi. ”Ibu asuh itu wajib membimbing sepuluh anak tersebut seperti anak sendiri. Mulai menyiapkan makanan, membimbing belajar, sampai menyiapkan semua kebutuhannya,” beber Hadi.

Public Relation SOS Children’s Villages Indonesia Masayu Yulien Vinanda menambahkan, ada kriteria khusus bagi seorang ibu asuh. Dia harus benar-benar bisa menyatu dengan anak-anak di dalam satu rumah.

Kriteria lainnya, berusia minimal 25 dan maksimal 50 tahun, belum menikah atau janda, bersedia mendedikasikan hidupnya untuk membimbing anak-anak, serta merupakan warga setempat. ”Dia profesional. Karena itu, sebelumnya harus melamar dan kami seleksi,” terang Nanda, panggilan Masayu.

Masih banyaknya anak kurang mampu yang harus bekerja untuk memenuhi kebutuhan keluarga menginspirasi SOS Children’s Villages Indonesia untuk

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News