Sugali

Oleh: Dhimam Abror Djuraid

Sugali
Presiden Joko Widodo. Foto: Ricardo/JPNN.com

Presiden Soeharto mengakui bahwa operasi petrus adalah shock teraphy untuk memberantas premanisme yang sudah menjalar luas.

Premanisme tidak pernah benar-benar hilang. Pada masa-masa awal reformasi premanisme meluas lagi dan membuat resah masyarakat. Dua puluh tahun setelah operasi petrus, perburuan terhadap preman kembali dilakukan meskipun tidak memakai cara-cara petrus.

Setiap hari selalu muncul berita mengenai polisi yang menangkap orang-orang yang disangka sebagai preman. Ciri-ciri target mereka tidak berbeda dengan sasaran petrus, kebanyakan mereka yang memiliki tato di badan.

Kampanye perang terhadap preman dikumandangkan. Di setiap pojok kota terlihat spanduk besar yang mengimbau untuk segera menghubungi polisi jika masyarakat diganggu preman.

Preman kembali kocar-kacir. Terminal, pasar, dan tempat umum yang biasa dijadikan tempat mangkal preman disisir oleh petugas kepolisian.

Terminologi preman sebenarnya tidak ada dalam istilah hukum. Sebagaimana gali, preman merupakan bahasa pasaran. Konotasinya adalah seseorang yang hidup bebas, tidak memiliki pekerjaan, suka menebarkan teror, suka memeras, dan sejumlah stereotipe lainnya. Biasanya mereka menggunakan atribut tato.

Akibat tak jelasnya pengertian itu, razia preman yang dilancarkan polisi pun menjaring banyak korban yang sebenarnya bukan preman. Seseorang yang tidak memiliki kartu penduduk dan pengangguran pun dapat digolongkan sebagai preman.

Mereka ditangkap ketika kedapatan berada di tempat umum hanya karena ada tato di tubuhnya. Polisi juga tak jarang menangkap gelandangan dan pengemis yang berkeliaran di tempat-tempat umum.

Kisah Sugali adalah perburuan terhadap preman dan bramacorah pada era 1980 sampai 1984.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News