Tak Kenal Garis Batas, Mi Instan Papua Ditukar Cokelat PNG

Tak Kenal Garis Batas, Mi Instan Papua Ditukar Cokelat PNG
Pembangunan jembatan di jalur lintas batas tradisional yang menghubungkan dua kampung di perbatasan Indonesia dan Papua Nugini di Distrik Waris, Keerom. Foto: Naufal Widi A.R/ Jawa Pos

Badan jembatan yang telah dibeton (proses pengecoran) masih menunggu matang atau kering selama 28 hari sehingga laik untuk dilintasi. Namun, infrastruktur penghubung itu akan berperan penting sebagai perlintasan warga dari dua negara.

Ya, jembatan di Kampung Pund itu bakal menjadi jalan bagi pelintas batas Indonesia dan Papua Nugini. Kampung itu berdekatan dengan Kampung Kwek yang terletak di wilayah negara Papua Nugini. Letaknya di balik semacam bukit yang berada di sisi luar jembatan. Selain itu, ada Kampung Banda yang letaknya tidak jauh dari Kampung Pund.

Untuk menuju ke Kampung Kwek, setelah melintasi jembatan yang sedang dibangun, seseorang harus melewati jalan menanjak dan berkelok sepanjang 360 meter. Jalan itu masih berupa tanah yang labil.

Saat Jawa Pos tiba di Distrik Waris, hujan lebat baru saja mengguyur. Akibatnya, untuk sementara jalan tidak bisa dilewati. Setelah jarak 360 meter itulah terdapat tugu yang menjadi penanda perbatasan Indonesia–Papua Nugini.

Muhadi, pimpinan proyek yang berada di lokasi menuturkan, di jalur tersebut memang sesekali melintas penduduk dari Papua Nugini. Namun, secara fisik mereka sulit dibedakan dengan penduduk lokal. ”Mereka sebenarnya masih satu suku,” katanya.
Suku di daerah tersebut adalah Walsa yang terbagi dalam 26 kelompok seperti marga. Sebanyak 20 marga berada di wilayah Papua Nugini dan enam berdiam di wilayah teritori Indonesia.

Karena masih dalam satu suku, lanjut Muhadi, mereka merasa seperti tidak memasuki wilayah negara lain saat melintas. Bahkan, mereka tidak mengenal garis batas antarnegara dan tidak sedikit yang belum memiliki tanda pengenal. Apalagi, tanah yang didiami merupakan tanah adat (ulayat). ”Dulu hanya ada jembatan dari dua batang pohon besar kalau mau ke sini (menyeberang),” kata pria asal Sulawesi yang sudah sepuluh tahun tinggal di Papua.

Jumlah pelintas tersebut memang tidak banyak. Mereka menyeberang karena ingin mengunjungi keluarga yang memang masih memiliki hubungan kekerabatan. Selain itu, mereka ingin berwisata atau beraktivitas dagang dalam skala kecil dengan sistem barter. ”Biasanya mereka membawa cokelat atau vanili untuk ditukar dengan mi instan, beras, dan kebutuhan pokok lain,” terang Muhadi.

Meski status kewarganegaraan adalah Papua Nugini, secara adat dan budaya para pelintas batas itu tidak berbeda dengan penduduk di Waris. Bukan hanya itu. Warga Papua Nugini tersebut kadang juga menerima layanan kesehatan dari petugas puskesmas di wilayah Indonesia.

Selain jalur perbatasan yang resmi, beberapa wilayah Indonesia yang berbatasan dengan Papua Nugini terdapat jalur perlintasan yang bersifat tradisional.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News