Tersinggung Berat Dipanggil Mister Monkey

Tersinggung Berat Dipanggil Mister Monkey
Willie Smits (kiri) dan Ulla Von Mengden, dua pemerhati satwa yang berada di rumah Ulla, kompleks kebun binatang, Ragunan, Jakarta Selatan. Mochamad Salsabyl Ad"n/Jawa Pos/JPNN.com

"Dia bilang, mister, mister, monkey... Ada anak orang utan yang matanya sedih sekali. Tapi, saya tidak menggubris tawaran itu. Saya dongkol dibilang seperti itu," ceritanya.

Malamnya, Willie menemukan bayi primata itu di tempat sampah dalam kondisi lemah tak berdaya. "Mungkin sudah dikira mati. Bayi orang utan itu saya ambil. Saya sempat dikejar orang yang membuang bayi orang utan itu dan disuruh membayar, tapi saya tidak mau."
 
Itulah orang utan pertama yang dirawat Willie hingga sembuh. Sejak itu, dia sering mendapatkan laporan orang utan yang telantar dan mengadopsinya. Akhirnya, pada 1991, bersama teman penelitinya, Peter Karsono, Willie mendirikan Balikpapan Orangutan Society (BOS), cikal bakal dari Balikpapan Orangutan Survival Foundation dan The Borneo Orangutan Survival Foundation.     
        
"Selama 3,5 tahun pertama, BOS dibiayai dari uang sumbangan siswa yang peduli tentang nasib orang utan yang merana. Setiap siswa mendonasikan Rp 1.000 untuk biaya operasional perawatan sekitar 80 ekor orang utan," bebernya.

Namun, lantaran primata yang diurus semakin banyak, Willie dkk pun semakin kewalahan. Bahkan, pada 1998 BOS nyaris gulung tikar karena tak kuat membiayai perawatan ratusan orang utan yang telantar akibat kebakaran hutan.  Beruntung, kondisi itu diliput tim National Geographic dan menayangkannya di jaringan televisi internasional. Sejak itu, pemerintah Indonesia mau cawe-cawe. Willie pun bisa bernapas lega. Bebannya berkurang.
        
Tidak hanya dengan BOS, Willie kemudian juga mendirikan Gibbon Foundation Indonesia, yayasan yang menangani konservasi satwa dan lingkungan. Berkat kegigihannya itu, dia lalu diminta untuk menjadi staf ahli menteri kehutanan.

"Sekarang yang menjadi musuh utama orang utan adalah pohon sawit. Sebab, hanya karena uang, para pemilik modal menghancurkan habitat orang utan. Itu ruginya justru besar," celetuknya.
        
Tidak hanya satwa, Willie juga memperhatikan kesejahteraan rakyat Indonesia melalui tanaman. Uniknya, ide menyejahterakan rakyat melalui tanaman itu didapat dari kearifan lokal suku Minahasa, Sulawesi Utara.
        
"Saya dapat ide itu dari mas kawin orang Minahasa. Untuk menikah, pria Minahasa harus memberikan mas kawin berupa enam pohon aren. Awalnya, saya pikir nggak mungkin mas kawin semurah itu. Tapi, kata mereka,  masa kawin pohon aren itu bisa menghidupi keluarga. Saat itu tahun 80-an saya mulai menanam aren dan mulai mempelajari tanaman tersebut," ungkapnya.
        
Berdasar penelitiannya, Willie baru tahu bahwa pohon aren sangat bermanfaat. Mulai gulanya sampai setiap bagiannya bisa dimanfaatkan. "Gula aren itu lebih sehat dari gula tebu. Juga bisa dipakai bahan bioethanol," ujarnya.
        
Dari penelitian itu, Willie kembali mendirikan Yayasan Masaran untuk mengembangkan potensi pohon aren. Menurut dia, tanaman itu bahkan bisa menghilangkan ketergantungan bangsa ini pada bahan bakar minyak (BBM). "Kita bisa manfaatkan ini menjadi bahan bakar alternatif. Sudah saya rumuskan sehingga Indonesia kelak menjadi negara swasembada energi. Makanya, omongan Indonesia negara kaya itu bukan omong kosong," jelasnya.
        
Pernyataannya itu dibuktikan pada 2007 saat Willie mendirikan pabrik gula aren dengan memanfaatkan energi panas sisa dari proyek geothermal Pertamina sebagai program CSR (Corporate Social Responsibility) mereka. Dengan cara begitu pabrik itu bisa menghemat penebangan pohon untuk kayu bakar.

"Saya terus mencari orang yang mau investasi tapi bukan hanya mau untungnya sendiri saja. Melainkan, juga untuk menyejahterakan rakyat," terangnya.
        
Meski lebih separo hidupnya didedikasikan untuk negara ini, Willie masih sering mendapat perlakuan yang kurang simpatik. Sebagai warga naturalisasi, dia sering mendapat sindiran dari orang-orang pribumi. Banyak yang masih merasa Willie sebagai orang asing yang mau mengambil untung sendiri. Salah satu hal yang paling tidak dia sukai adalah panggilan mister.
         
"Tolong jangan panggil saya mister. Panggil saja Pak Willie. Saya ini juga orang Indonesia," tegasnya.
        
Menurut dia panggilan itu terasa seperti diskriminasi kepada warga naturalisasi. Padahal, dia merasa sudah merelakan semua jaminan dan asuransinya sebagai warga Belanda untuk menjadi WNI.
 
"Saya nggak suka itu. Di sini kan bhinneka tunggal ika. Meski berbeda-beda tapi tetap satu. Saya tulus  menjadi orang Indonesia. Lihat hati orangnya dong," tandas dia.
     
Dari semangat itulah dia terus berusaha melindungi satwa dan kekayaan alam Indonesia. Pasalnya, mereka adalah kaum minoritas yang perlu dilindungi haknya. "Prinsip bhinneka tunggal ika kan yang mayoritas melindungi minoritas, yang minoritas menghormati mayoritas. Kalau orang utan, satwa lain, dan lingkungan sebagai minoritas tak dilindungi, mereka akan terus tergusur," tandasnya. (*/ari)


Jangan nilai isi buku dari sampulnya. Ungkapan itu pas untuk menggambarkan sosok Willie Smits, tokoh lingkungan hidup Indonesia yang mendunia. Warga


Redaktur & Reporter : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News