Tersinggung Berat Dipanggil Mister Monkey

Tersinggung Berat Dipanggil Mister Monkey
Willie Smits (kiri) dan Ulla Von Mengden, dua pemerhati satwa yang berada di rumah Ulla, kompleks kebun binatang, Ragunan, Jakarta Selatan. Mochamad Salsabyl Ad"n/Jawa Pos/JPNN.com

jpnn.com - Jangan nilai isi buku dari sampulnya. Ungkapan itu pas untuk menggambarkan sosok Willie Smits, tokoh lingkungan hidup Indonesia yang mendunia. Warga naturalisasi dari Belanda itu sudah 30 tahun memberdayakan kekayaan alam dan satwa Indonesia.  

MOCHAMAD SALSABYL, Jakarta

WILLIE Smits hampir tak pernah melewatkan melakukan ritual setiap kali mengunjungi Pusat Primata Schmutzer di Kebun Binatang Ragunan, Jakarta Selatan. Rabu lalu (11/6), misalnya.  

Begitu turun dari taksi dan bersalaman dengan Jawa Pos (Induk JPNN.com), pria kelahiran Kota Weurt, Belanda, itu tanpa basa-basi langsung masuk ke fasilitas konservasi yang dibangun pada 2002 itu. Langkah gegasnya langsung menuju kandang setiap primata yang ada di sana.
        
"Maaf  saya harus keliling dulu. Kalau mereka melihat saya lewat tapi tidak menemui, mereka bisa marah," tuturnya.

Benar saja, melihat tubuh jangkung Willie, salah satu satwa langsung bereaksi. Meski dipisahkan kaca tebal, pria yang kini menginjak usia 58 itu tak malu merespons sapaan satwa itu dengan bertingkah mirip binatang.

"Meskipun tidak masuk, cara ini sudah cukup buat menunjukkan rasa sayang pada mereka. Kalau saya masuk nanti tidak boleh keluar sampai satu jam," imbuhnya.
        
Acara jalan-jalan keliling kandang itu berlanjut hingga satu jam. Setiap satwa --gorila, siamang, simpanse, orang utan dan lain-lainâ€"tak terlewatkan disambangi Willie. Dia tak lupa  menanyakan kabar mereka kepada petugas yang berjaga.
        
"Kualitas tempat ini sekarang menurun. Dulu saya dirikan dengan dana USD 7,5 juta sumbangan dari Nyonya Puck Schmutzer. Sekarang jenis makanannya saja tinggal 50-an. Padahal dulu ketika masih saya urus ada 120 jenis makanan untuk hewan di sini," ucapnya dengan nada sedikit dongkol.
        
Tak bisa dimungkiri, pembicaraan soal kesejahteraan satwa, terutama golongan primata, merupakan isu paling sensitif  bagi Willie. Hal itu bermula saat dirinya meneliti tumbuhan di Indonesia.

"Saya ini ahli kehutanan dan mikrobiologi. Sejak tahun 80-an sudah keliling untuk meneliti berbagai tumbuhan. Salah satunya, tentang budidaya meranti di Indonesia," jelas pria bergelar profesor dan dosen tamu di berbagai perguruan tinggi di Indonesia itu.
        
Penelitian Willie dinilai sukses. Hal itu membuat pemerintah Indonesia tertarik menawari Willie untuk meneliti lebih lanjut budidaya meranti di Wanaruset Samboja, Kalimantan Timur. Gayung bersambut, Willie dengan senang hati menerimanya. Pada 1985, dia mulai bekerja melakukan penelitian.

"Bahkan, sejak itu saya tidak balik lagi ke Belanda. Saya memutuskan untuk pindah ke Indonesia sampai sekarang," papar ilmuwan yang memperoleh hak kewarganegaraan Indonesia pada 1992 itu.
 
Pertemuan pertama Willie dengan primata Indonesia terjadi pada 1989. Awalnya karena persoalan sepele. Saat itu dia ditawari seseorang untuk membeli anak orang utan yang sakit-sakitan.

Jangan nilai isi buku dari sampulnya. Ungkapan itu pas untuk menggambarkan sosok Willie Smits, tokoh lingkungan hidup Indonesia yang mendunia. Warga

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News