Tionghoa, Dulu dan Sekarang (2-Habis)

Tionghoa Bersambut, Bagaimana Yin Ni Hua Ren?

Tionghoa, Dulu dan Sekarang (2-Habis)
Tionghoa, Dulu dan Sekarang (2-Habis)

Lalu, bagaimana saya bisa menjelaskan kepada pembaca koran Jawa Pos Group agar bisa menerima istilah Tionghoa sebagai pengganti ’’cina’’? Terutama bagaimana saya bisa meyakinkan para redaktur dan wartawan di semua koran Jawa Pos Group (tentu tidak mudah karena kami memiliki sekitar 100 koran di seluruh Indonesia) yang semula juga sulit diajak mengerti?

Untuk ini, saya harus mengucapkan terima kasih kepada pemimpin INTI, khususnya Eddy Lembong yang sangat cerdas itu. Entah bagaimana, Eddy Lembong bisa menemukan adanya salah satu ayat dalam ajaran Islam yang kalau diterjemahkan artinya begini: ’’Panggillah seseorang itu dengan panggilan yang mereka sendiri senang mendengarnya’’.

Ini dia. Saya dapat kuncinya. Saya dapat magasin berikut pelurunya. Maka, saya pun menjelaskan bahwa tidak ada orang ’’cina’’ yang tidak suka kalau dipanggil Tionghoa. Sebaliknya, banyak orang Tionghoa yang tidak senang kalau dipanggil ’’cina’’. Dengan logika itu, apa salahnya kita menuruti ayat dalam ajaran Islam tersebut dengan memberikan panggilan yang menyenangkan bagi yang dipanggil?

Mengapa kita harus memanggil ’’si gendut’’ untuk orang gemuk atau ’’si botak’’ terhadap orang yang tidak berambut, meski kenyataannya demikian? Atau, kita memanggil dengan ’’si kerbau’’ meski dia memang terbukti bodoh?

ZAMAN berubah. Bahkan, setelah kejatuhan Orde Baru, perubahan itu begitu drastisnya, sehingga terasa terlalu tiba-tiba. Belum pernah orang Tionghoa

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News