Uji Nyali Firli Bahuri

Oleh: Dhimam Abror Djuraid

Uji Nyali Firli Bahuri
Ketua KPK Firli Bahuri Foto: Ricardo/JPNN.com

Karena itu, di negara yang memakai sistem ‘’trias politika’’ Montesquieu kekuasaan harus dibagi rata antara eksekutif, legislatif, dan judikatif.

Tujuannya adalah supaya kewenangan dan monopoli tidak terjadi di eksekutif. Lembaga legislatif berwewenang membuat peraturan perundangan dan mengawasi kerja eksekutif.

Lembaga judikatif punya kewenangan hukum untuk mengawasi kerja legislatif dan eksekutif.

Ketiga lembaga itu harus bekerja secara independen dan menjalankan fungsi ‘’checks and balances’’, pengawasan dan penyeimbangan. Tanpa pengawasan dan penyeimbangan maka kekuasaan eksekutif akan menjadi monopolistis.

Tanpa akuntabilitas dan pengawasan yang efektif maka berbagai tindak korupsi akan merajalela.

Apa yang terjadi sekarang adalah pengawasan yang tidak efektif dari lembaga legislatif. Lembaga ini sudah terkooptasi oleh rezim dan menjadi bagian dari kekuasaan.

Lembaga judikatif juga tidak menunjukkan taring yang cukup kuat untuk menjadi ‘’watch dog’’ atau anjing penjaga, dan lebih banyak berfungsi sebagai ‘’laps dog’’ alias anjing piaraan.

Ada banyak sekali teori korupsi, tetapi teori CDMA yang diperkenalkan ahli sosiologi Robert Klitgaard itu yang paling banyak dipakai oleh para pegiat anti-korupsi di Indonesia.

Ternyata wasit curang bukan hanya ada di lapangan sepak bola, tetapi juga di lapangan KPK, kantornya Firli Bahuri.

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News